Sabtu, 22 April 2017

Mengangkat dan menurunkan telunjuk tasyahud akhir

Tempat mulai mengangkat telunjuk dan perselisihan Ulama tentangnya

Syaikh Ahmad Al-Barlisi ‘amiiratusy -Syafi’i (wafat 957 H), berkata, Dengan bentuk mengisyaratkan jari telunjuk yang manapun dari yang sudah disebutkan di atas (dalam kitab beliau-pent) seseorang yang melakukannya sudah terhitung mengamalkan sunnah tersebut. Adapun yang menjadi perselisihan ulama adalah sebatas mana yang afdhal”. Ucapannya selesai, diambil dari Hasyiah ‘Amiiroh (1/188). Lihat juga Al-Majmu’ tulisan An-Nawawi (3/434).
Perselisihan dalam masalah afdhaliyyah ini adalah perkara ijtihad ulama yang (masing-masing pendapat) masih bisa dikatakan memiliki alasan ilmiyyah karena tidak adanya dalil yang jelas dan pasti dalam hal ini.
Ada sebuah riwayat dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma, bahwa nabi shallallahu alaihi wa sallam saat duduk di dalam shalatnya meletakkan telapak tangan kanannya di atas lututnya dan mengangkat jari sebelah jempolnya (telunjuk-pent). Beliau berdo’a dengannya, sedangkan telapak tangan kirinya diletakkan di atas lutut yang satunya. Beliau membuka telapak tangan kiri tersebut dan diletakkan di atas lututnya. Imam At-Tirmidzi meriwayatkannya (no. 294) dan berkata, “Hadits Ibnu Umar ini hadits hasan gharib. Kami tidak mengetahuinya dari hadits Ubaidillah bin Umar kecuali dari sisi ini. Sebagian ulama dari kalangan sahabat nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tabi’in mengamalkannya. Mereka memilih isyarat jari telunjuk ketika tasyahhud dan pendapat ini adalah pendapat ulama madzhab kami”. Ucapannya selesai. Syaikh Al-Albani menshahihkan hadits ini dalam kitab Shahih At-Tirmidzi.
Sabda beliau (dan mengangkat jari sebelah jempolnya [telunjuk-pent] yang digunakan berdo’a oleh beliaumenunjukan bahwa mengangkat telunjuk dimulai ketika berdo’a dalam tasyahhud. Adapun lafadz do’a dimulai dari dua kalimat syahadat karena di dalamnya terdapat pengakuan dan penetapan kemahaesaan Allah ‘azza wa jalla, sedangkan hal itu sebab suatu do’a lebih berpeluang dikabulkan. Selanjutnya mulailah mengucapkan inti do’anya (Allahumma shalli ‘ala Muhammad) hingga akhir tasyahhud dan sampai akhir salam. Adapun awal tasyahhud (Attahiyyatulillah sampai ucapan kita wa ‘ala ‘ibadillahish shalihin) bukanlah termasuk do’a, namun itu adalah bentuk memuji Allah dan do’a kesalamatan bagi hamba-Nya.
Riwayat-riwayat yang ada dari para sahabat dan tabi’in dalam masalah ini menunjukkan bahwa mengisyaratkan jari telunjuk maksudnya adalah isyarat kepada tauhid dan ikhlasJadi (isyarat), jari telunjuk tersebut hakikatnya adalah ungkapan dalam bentuk perbuatan tentang keimanan kepada Allah Yang Maha Esa, tidak ada sekutu baginya, maka pantaslah jika awal isyarat telunjuk adalah lafadz syahadat (Asyhadu an laa ilaaha illallahu). Oleh karena itu Ibnu Abbbas radhiallahu ‘anhuma berkata, “Isyarat tersebut adalah ungkapan keikhlasan”.
Ibrahim An-Nakha’i rahimahullah berkata, “Jika seseorang mengisyaratkan dengan jari (telunjuknya) dalam shalat, maka hal itu baik dan itu ungkapan tauhid”, diriwayatkan oleh Ibnu Syaibah dalam Mushannaf (2/368).
Apa yang disebutkan di atas adalah salah satu pendapat di kalangan ahli fiqih, yaitu permulaan isyarat telunjuk saat syahadat tauhid.
Adapun masalah kapan selesainya isyarat telunjuk tersebut, para sahabat yang meriwayatkan mengangkat jari telunjuk tidaklah menyebutkan nabi shallallahu alaihi wa sallam sallam menurunkannya (di bagian tertentu sebelum selesainya salam-pent), maka (dapat disimpulkan) bahwa mengangkat jari telunjuk itu terus sampai selesai salam, terlebih lagi akhir tasyahhud semuanya adalah do’a .
Abu Abdillah Al-Khurasyi Al-Maliki (wafat th.1101 H) raimahullah berkata, “Dari awal tasyahhud hingga akhirnya, yaitu asyhadu an laa ilaaha illallahu wa asyhadu anna Muhammadan ‘abduhu wa rasuluhu dan sesuai dengan yang mereka sebutkan sampai selesai salam walaupun panjang tasyahhud tersebut”. Perkataanya selesai, diambil dari Syarhu Mukhtashor Kholil (1/288).
Dan ulama syafi’iyyah menyetujui mereka, yaitu isyarat telunjuk ketika syahadatain, akan tetapi mereka memberikan penjelasan tambahan secara rinci dan detail yang barangkali tidak ditemukan dalilnya. Mereka mengatakan, “Permulaan mengangkat jari telunjuk adalah ketika sampai pengucapan huruf hamzah dari ucapannya di syahadatain, yaitu (illlallah).
Imam An-Nawawi rahimahullah berkata, “Dari semua ucapan dan sisi pandang tersebut dapat disimpulkan bahwa, disunnahkan mengisyaratkan telunjuk tangan kanannya lalu mengangkatnya ketika sampai huruf hamzah dari ucapannya (Laa ilaaha illalllahu)”. Perkataannya selesai, diambil dari kitab Al-Majmu’ syarhul Muhadzdzab (3/434).
Imam Ar-Ramli Asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Mengangkatnya saat ucapannya (illallah), yaitu mulai mengangkatnya ketika pengucapan hamzah; untuk mengikuti riwayat Imam Muslim dalam masalah tersebut. Hal itu nampak atau jelas menunjukkan bahwa jari telunjuk tetap diangkat sampai (sesaat sebelum) berdiri (ke raka’at ke tiga pada tasyahhud awal-pent) atau sampai salam (pada tasyahhud akhir-pent). Adapun yang dibahas sekelompok orang zaman sekarang tentang mengembalikannya, maka ini menyelisihi penukilan. Ucapannya selesai, diambil dari Nihayatul Muhtaj (1/522).
Ada juga di antara ulama yang mengatakan bahwa isyarat telunjuk tersebut dimulai dari awal tasyahhud. Semua tasyahhud hakikatnya adalah do’a dan terdapat suatu riwayat dalam hadits bahwa beliau berdo’a dengannya. Adapun di awal tasyahhud (Attahiyyaatulillaah) ini adalah pujian mengawali do’a, maka hakikatnya pujian tersebut termasuk bagian do’a dan bukan keluar dari bagian do’a.
Syaikhul Islam rahimahullah berkata, Disunnahkan isyarat telunjuk dalam tasyahhud dan do’a” (Ikhtiyaraat, /38).
Dalam fatwa Lajnah Daimah (7/56), “Isyarat telunjuk sepanjang tasyahhud dan menggerakkannya saat do’a serta menggenggam jari jemari (selain telunjuk-pent) terus dilakukan sampai (selesai) salam”.
Yang jelas, permasalahan ini adalah masalah ijtihadiyyah khilafiyyah dan berbagai pendapat dalam masalah ini terkait dengan salah satu cabang kecil dari masalah shalat. Tidak mengapa seseorang menyelisihi ijtihad ini dan mengikuti pendapat yang dia pandang kuat dalam masalah ini dengan berdasarkan ilmu.
Terdapat juga fatwa Lajnah Daimah (5/368), “Mengangkat telunjuk dalam tasyahhud adalah sunnah dan hikmahnya adalah isyarat kepada kemahaesaan Allah. Jika ia mau silahkan menggerakkannya (telunjuk-pent), jika tidak, maka (tidaklah mengapa) tidak menggerakkannya. Permasalahan ini tidak mengharuskan perpecahan dan permusuhan di antara para penuntut ilmu. Seandainya ia tidak mengangkatnya pun atau mengangkatnya namun tidak menggerakkkannya tidaklah mengapa karena masalah ini adalah masalah mudah tidaklah mengharuskan pengingkaran dan (saling) menjauh, namun sunnahnya adalah mengangkatnya di kedua tasyahhud sekaligus sampai seseorang (selesai) salamnya sebagai isyarat kepada tauhid. Adapun menggerakkannya, maka ketika berdo’a sebagaimana yang ditunjukkan sunnah yang shohihah.” Selesai fatwa ini, diambil dari Fatawal Lajnah (5/368).
Lihat jawaban dari pertanyaan nomor 7570.
Wallahu a’lam.
Penyusun: Ustadz Sa’id
Artikel Muslim.Or.Id



Pelihara jenggot

Pelihara jenggot dan tipiskan kumis

Memelihara dan membiarkan jenggot merupakan syari’at Islam dan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Marilah kita lihat bagaimana bentuk fisik Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berjenggot.

Dari Anas bin Malik –pembantu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam– mengatakan,

”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bukanlah laki-laki yang berperawakan terlalu tinggi dan tidak juga pendek. Kulitnya tidaklah putih sekali dan tidak juga coklat. Rambutnya tidak keriting dan tidak lurus. Allah mengutus beliau sebagai Rasul di saat beliau berumur 40 tahun, lalu tinggal di Makkah selama 10 tahun. Kemudian tinggal di Madinah selama 10 tahun pula, lalu wafat di penghujung tahun enam puluhan. Di kepala serta jenggotnya hanya terdapat 20 helai rambut yang sudah putih.” (Lihat Mukhtashor Syama’il Al Muhammadiyyah, Muhammad Nashirudin Al Albani, hal. 13, Al Maktabah Al Islamiyyah Aman-Yordan. Beliau katakan hadits ini shohih)

Lihatlah saudaraku, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam riwayat di atas dengan sangat jelas terlihat memiliki jenggot. Lalu pantaskah orang berjenggot dicela?!

Perintah Nabi Agar Memelihara Jenggot

Hadits pertama, dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَحْفُوا الشَّوَارِبَ وَأَعْفُوا اللِّحَى

“Potong pendeklah kumis dan biarkanlah (peliharalah) jenggot.” (HR. Muslim no. 623)

Hadits kedua, dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ أَحْفُوا الشَّوَارِبَ وَأَوْفُوا اللِّحَى

“Selisilah orang-orang musyrik. Potong pendeklah kumis dan biarkanlah jenggot.” (HR. Muslim no. 625)

Hadits ketiga, dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata,

أَنَّهُ أَمَرَ بِإِحْفَاءِ الشَّوَارِبِ وَإِعْفَاءِ اللِّحْيَةِ.

“Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk memotong pendek kumis dan membiarkan (memelihara) jenggot.” (HR. Muslim no. 624)

Hadits keempat, dari Abu Huroiroh radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

جُزُّوا الشَّوَارِبَ وَأَرْخُوا اللِّحَى خَالِفُوا الْمَجُوسَ

“Pendekkanlah kumis dan biarkanlah (perihalah) jenggot dan selisilah Majusi.” (HR. Muslim no. 626)

Hadits kelima, dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

انْهَكُوا الشَّوَارِبَ ، وَأَعْفُوا اللِّحَى

“Cukur habislah kumis dan biarkanlah (peliharalah) jenggot.” (HR. Bukhari no. 5893)

Hadits keenam, dari Ibnu Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ ، وَفِّرُوا اللِّحَى ، وَأَحْفُوا الشَّوَارِبَ

“Selisilah orang-orang musyrik. Biarkanlah jenggot dan pendekkanlah kumis.” (HR. Bukhari no. 5892)

Ulama besar Syafi’iyyah, An Nawawi rahimahullah mengatakan, ”Kesimpulannya ada lima riwayat yang menggunakan lafazh,

أَعْفُوا وَأَوْفُوا وَأَرْخُوا وَأَرْجُوا وَوَفِّرُوا

Semua lafazh tersebut bermakna membiarkan jenggot tersebut sebagaimana adanya.” (Lihat Syarh An Nawawi ‘alam Muslim, 1/416, Mawqi’ Al Islam-Maktabah Syamilah 5)

Di samping hadits-hadits yang menggunakan kata perintah di atas, memelihara jenggot juga merupakan sunnah fithroh. Dari Ummul Mukminin, Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

عَشْرٌ مِنَ الْفِطْرَةِ قَصُّ الشَّارِبِ وَإِعْفَاءُ اللِّحْيَةِ وَالسِّوَاكُ وَاسْتِنْشَاقُ الْمَاءِ وَقَصُّ الأَظْفَارِ وَغَسْلُ الْبَرَاجِمِ وَنَتْفُ الإِبْطِ وَحَلْقُ الْعَانَةِ وَانْتِقَاصُ الْمَاءِ

“Ada sepuluh macam fitroh, yaitu memendekkan kumis, memelihara jenggot, bersiwak, istinsyaq (menghirup air ke dalam hidung,-pen), memotong kuku, membasuh persendian, mencabut bulu ketiak, mencukur bulu kemaluan, istinja’ (cebok) dengan air.” (HR. Muslim no. 627)

Jika seseorang mencukur jenggot, berarti dia telah keluar dari fitroh yang telah Allah fitrohkan bagi manusia. Allah Ta’ala berfirman,

فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَ

Senin, 10 April 2017

Sejarah kerajaan Malayapura

Pada abad XI nama kerajaan malayu muncul 1991 dengan nama Malayapura dengan nama rajanya Suryanaraya yang bergelar Sri Maharaja. Nama Malayapura diketahui dari prasasti yang ditemukan di Ceyon ( Srilanka ), antara lain menyebutkan pembebasan Ceylon dari penjajahan Cola. Untuk selanjutnya kerajaan Malayu yang muncul pada abad XI dan seterusnya disebut Malayapura/ Malayupura.                    
            Kerajaan Malayu tua pada sekitar 617 diserang dan ditaklukkan oleh kerajaan Sriwijaya atau disebut pula kerajaan Suwarnabhumi sehingga pusat kerajaannya tergusur kearah pedalaman dan ibu kotanya yang lama di duduki oleh Sriwijaya. Dalam abad XI terjadi perubahan posisi antara Sriwijaya dengan Malayu. Sejarah dinasti Sung masih mencatat bahwa raja Suwarnabhumi pada tahun 1028 bernama Se-Li-Tich-Hwa merupakan lafal dari nama Sanggrama Wijaya Tungga Warman.
            Sementara itu dalam persaingan dengan Cola, pihak Cola merasa dirugikan. Lalu pada tahun 1015 armada Cola menyerang Suwarnabhumi. Pada tahun 1025 Suwarnabhumi di serang lagi oleh Cola, dan peristiwa ini dicatat dalam prasasti Tanjore tahun 1031. Sejak tahun 1025 aktivitas Suwarnabhumi ada dalam pengawasan pihak Cola dan ketika terjadi keresahan pada tahun 1067, raja Wirarajendra menyerbu Suwarnabhumi. Kemudian pada tahun 1068 Wirarajendra menempatkan anaknya yang bernama Purnama Rajendra Kulotungga sebagai raja Suwarnabhumi yang berpusat di Jambi.
            Adapun raja Suwarnabhumi yang kalah dalam serangan tahun 1067, pindah kepedalaman dan mendirikan kerajaan baru yang disebut Malayapura. Lokasi Malayapura diduga tidak jauh dari Dharmasraya yang nanti akan menjadi pusat kegiatan agama Budha, yang antara lain ditandai dengan penempatan arca Amoghapasa Lokeswara kiriman raja Kertanegara dari Singhasari pada tahun 1286 kepada raja Malayu.
            Dari kronik Cina juga diberitakan bahwa pada tahun 1079 Raja yang memerintah di Suwarnabhumi bernama Rajendra Kulotungga. Nama Kulotungga tercatat dalam prasasti Kanton pada tahun 1079 dengan sebutan Ti-Hwa-Ka-Lo ( lafal Cina dari dewa Kala ), nama Ti Hwa Ka Lo tercatat sebagai donator pada pembangunan sebuah kuli Budha aliran Tao yang bernama kuil Tienching mengenai prasasti Sriwijaya dari Kanton tahun 1079.
            Suwarnabhumi ( Sriwijaya ) telah kalah pada tahun 1067 dan menyingkir dari pusat kekuasaan yang ada di Jambi ke daerah pedalaman. Sedikitnya hingga tahun 1079 saat Raja Dewakala Kulotungga menjadi donator pembangunan kuil di Kanton, maka Suwarnabhumi dikuasai oleh Dinasti Cola dari India Selatan.
            Terjadinya pendudukan terhadap kerajaan Suwarnabhumi sejak 1067-1079 telah menjadikan kerajaan Suwarnabhumi punah. Pewaris tahta Suwarnabhumi menyingkir dan mendirikan kerjaan Malapura. Kekuasaan Raja Dinasti Cola di Suwarnabhumi tidak berlangsung lama, hanya 12 tahun. Raja Malayu bernama Suryanarayana berhasil mengusir Raja dengan gelar Sri Maharaja mengenai tokoh Suryanarayana. Menurut Pravikana ia pernah menjadi raja di Ceylon tahun 1055-1110. Setelah ia menjadi Raja Malayu, antara tahun 1079-1082 ia memindahkan pusat kekuasaannya dari Palembang ke Jambi sebagaimana dicatat dalam berita Cina. Raja Malayu juga mengirim utusan ke Cina pada tahun 1079 dan 1088 dan memita Privilese kepada Kaisar Cina sama seperti yang diberikan kaisar kepada utusan Tamil pada tahun 1077.
            Pada abad XII, nama Malayu nyaris tidak muncul kecuali catatan sejarah Cina yang menyebutkan bahwa pada tahun 1157 Raja Malayu Jambi mengirim barang-barang ke Cina. Berita ini juga tidak menyebutkan siapa nama Malayu Jambi tersebut.
            Pada abad ke XIII nama Malayu timbul lagi dalam berita Cina yang menyebutkan bahwa Malayu Jambi mengirim utusan ke Cina pada tahun 1281. Kemudin ada utusan lagi pada tahun 1293 karena ada permintaan dari Dinasti Mongo. Kemudian pada tahun1299 utusan Malayu Jambi datang ke Cina atas kemauan sendiri. Selain itu ada berita dari Portugis yang menerangkan bahwa Marcopolo dalam catatannya tahun 1292 menyebut Malayu sebagai pusat perdagangan rempah-rempah. Sumber prasasti juga menyebutkan bahwa Raja Kartanagara dari Singhasari mengirimkan arca Amoghapasa. Lokeswara kepada raja Bhumi Malayu yang bernama Tribhuwanaraja Mauliwarmadewa pada tahun 1286.
            Uraian prasasti Padangreco ini memberikan data bahwa eksistensi Malayu cukup basar XIV ini singgasana kerajaan malayu Jambi masih diduduki oleh Tribhuwanaraja Mauliwarmadewa . Tiba-tia tahun 1343 muncul nama Adityawarman dalam prasasti Manjusri berangka pada tahun 1343 dan ia mengaku bersaudara dengan Rajapatni raja Majapahit. Pada saat itu empat tahun kemudian tepatnya pada tahun 1343 nama Adityawarman muncul lagi dalam prasasti Amoghapasa yang menyatakan diri sebagai Raja Malayu. Kemudian Adityawarman memindahkan pusat kegiatannya dari sekitar aliran sungai Batanghari lebih ke utara yaitu ksekitar kota Batusanggkar, provinsi Sumbar. 

Daftar Pustaka
Abdullah,Taufik  dan AB Lapian.Indonesia dalam Arus Sejarah Jilid 2.Jakarta:PT.Ichtiar Baru Van Hoeve
id.wikipedia.org/wiki/Malayapura
http://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Pagaruyung

Kerajaan Singhasari

Kerajaan Singhasari atau sering pula ditulis Singasari atau Singosari, adalah sebuah kerajaan di Jawa Timur yang didirikan oleh Ken Arok pada tahun 1222. Lokasi kerajaan ini sekarang diperkirakan berada di daerah Singosari, Malang.

Nama ibu kotaSunting

Berdasarkan prasasti Kudadu, nama resmi Kerajaan Singhasari yang sesungguhnya ialah Kerajaan Tumapel. Menurut Nagarakretagama, ketika pertama kali didirikan tahun 1222, ibu kota Kerajaan Tumapel bernama Kutaraja.
Pada tahun 1253, Raja Wisnuwardhana mengangkat putranya yang bernama Kertanagara sebagai yuwaraja dan mengganti nama ibu kota menjadi Singhasari. Nama Singhasari yang merupakan nama ibu kota kemudian justru lebih terkenal daripada nama Tumapel. Maka, Kerajaan Tumapel pun terkenal pula dengan nama Kerajaan Singhasari.
Nama Tumapel juga muncul dalam kronik Cina dari Dinasti Yuan dengan ejaan Tu-ma-pan.

Awal berdiriSunting

Menurut Pararaton, Tumapel semula hanya sebuah daerah bawahan Kerajaan Kadiri. Yang menjabat sebagai akuwu (setara camat) Tumapel saat itu adalah Tunggul Ametung. Ia mati dibunuh dengan cara tipu muslihat oleh pengawalnya sendiri yang bernama Ken Arok, yang kemudian menjadi akuwu baru. Ken Arok juga yang mengawini istri Tunggul Ametung yang bernama Ken DedesKen Arok kemudian berniat melepaskan Tumapel dari kekuasaan Kerajaan Kadiri.
Pada tahun 1254 terjadi perseteruan antara Kertajaya raja Kerajaan Kadiri melawan kaum brahmana. Para brahmana lalu menggabungkan diri dengan Ken Arok yang mengangkat dirinya menjadi raja pertama Tumapel bergelar Sri Rajasa Sang Amurwabhumi. Perang melawan Kerajaan Kadiri meletus di desa Ganter yang dimenangkan oleh pihak Tumapel.
Nagarakretagama juga menyebut tahun yang sama untuk pendirian Kerajaan Tumapel, namun tidak menyebutkan adanya nama Ken Arok. Dalam naskah itu, pendiri kerajaan Tumapel bernama Ranggah Rajasa Sang Girinathaputra yang berhasil mengalahkan Kertajaya raja Kerajaan Kadiri.
Prasasti Mula Malurung atas nama Kertanagara tahun 1255, menyebutkan kalau pendiri Kerajaan Tumapel adalah Bhatara Siwa. Mungkin nama ini adalah gelar anumerta dari Ranggah Rajasa, karena dalam Nagarakretagama arwah pendiri kerajaan Tumapel tersebut dipuja sebagai Siwa. Selain itu, Pararaton juga menyebutkan bahwa, sebelum maju perang melawan Kerajaan Kadiri, Ken Arok lebih dulu menggunakan julukan Bhatara Siwa.

Silsilah Wangsa Rajasa

Prasasti Mula MalurungSunting

Mandala Amoghapāśa dari masa Singhasari (abad ke-13), perunggu, 22.5 x 14 cm. Koleksi Museum für Indische Kunst, Berlin-Dahlem, Jerman.
Penemuan prasasti Mula Malurung memberikan pandangan lain yang berbeda dengan versi Pararaton yang selama ini dikenal mengenai sejarah Tumapel.
Kerajaan Tumapel disebutkan didirikan oleh Rajasa yang dijuluki "Bhatara Siwa", setelah menaklukkan Kerajaan Kadiri. Sepeninggalnya, kerajaan terpecah menjadi dua, Tumapel dipimpin Anusapati sedangkan Kerajaan Kadiri dipimpin Bhatara Parameswara (alias Mahisa Wonga Teleng). Parameswara digantikan oleh Guningbhaya, kemudian Tohjaya. Sementara itu, Anusapati digantikan oleh Seminingrat yang bergelar WisnuwardhanaPrasasti Mula Malurung juga menyebutkan bahwa sepeninggal Tohjaya, Kerajaan Tumapel dan Kerajaan Kadiri dipersatukan kembali oleh Seminingrat. Kerajaan Kadiri kemudian menjadi kerajaan bawahan yang dipimpin oleh putranya, yaitu Kertanagara.

Pemerintahan bersamaSunting

Pararaton dan Nagarakretagama menyebutkan adanya pemerintahan bersama antara Wisnuwardhana dan Narasingamurti. Dalam Pararaton disebutkan nama asli Narasingamurti adalah Mahisa Campaka.
Apabila kisah kudeta berdarah dalam Pararaton benar-benar terjadi, maka dapat dipahami maksud dari pemerintahan bersama ini adalah suatu upaya rekonsiliasi antara kedua kelompok yang bersaing. Wisnuwardhana merupakan cucu Tunggul Ametung sedangkan Narasingamurti adalah cucu Ken Arok.

KejayaanSunting

Kertanagara adalah raja terakhir dan raja terbesar dalam sejarah Singhasari (1272 - 1292). Ia adalah raja pertama yang mengalihkan wawasannya ke luar Jawa. Pada tahun 1275 ia mengirim pasukan Ekspedisi Pamalayu untuk menjadikan Sumatra sebagai benteng pertahanan dalam menghadapi ekspansi bangsa Mongol. Saat itu penguasa Sumatra adalah Kerajaan Dharmasraya (kelanjutan dari Kerajaan Malayu). Kerajaan ini akhirnya dianggap telah ditundukkan, dengan dikirimkannya bukti arca Amoghapasa yang dari Kertanagara, sebagai tanda persahabatan kedua negara.
Pada tahun 1284, Kertanagara juga mengadakan ekspedisi menaklukkan Bali. Pada tahun 1289 Kaisar Kubilai Khan mengirim utusan ke Singhasari meminta agar Jawa mengakui kedaulatan Mongol. Namun permintaan itu ditolak tegas oleh KertanagaraNagarakretagama menyebutkan daerah-daerah bawahan Singhasari di luar Jawa pada masa Kertanagara antara lain, MelayuBaliPahangGurun, dan Bakulapura.

KeruntuhanSunting

Candi Singhasari dibangun sebagai tempat pemuliaan Kertanegara, raja terakhir Singhasari.
Kerajaan Singhasari yang sibuk mengirimkan angkatan perangnya ke luar Jawa akhirnya mengalami keropos di bagian dalam. Pada tahun 1292 terjadi pemberontakan Jayakatwang bupati Gelanggelang, yang merupakan sepupu, sekaligus ipar, sekaligus besan dari Kertanagara sendiri. Dalam serangan itu Kertanagara mati terbunuh.
Setelah runtuhnya Singhasari, Jayakatwang menjadi raja dan membangun ibu kota baru di Kerajaan Kadiri. Riwayat Kerajaan Tumapel-Singhasari pun berakhir.

Hubungan dengan MajapahitSunting

PararatonNagarakretagama, dan prasasti Kudadu mengisahkan Raden Wijaya cucu Narasingamurti yang menjadi menantu Kertanagara lolos dari maut. Berkat bantuan Aria Wiraraja (penentang politik Kertanagara), ia kemudian diampuni oleh Jayakatwang dan diberi hak mendirikan desa Majapahit.
Pada tahun 1293 datang pasukan Mongol yang dipimpin Ike Mese untuk menaklukkan Jawa. Mereka dimanfaatkan Raden Wijaya untuk mengalahkan Jayakatwang di Kerajaan Kadiri. Setelah Kadiri runtuh, Raden Wijaya dengan siasat cerdik ganti mengusir tentara Mongol keluar dari tanah Jawa.
Raden Wijaya kemudian mendirikan Kerajaan Majapahit sebagai kelanjutan Singhasari, dan menyatakan dirinya sebagai anggota Wangsa Rajasa, yaitu dinasti yang didirikan oleh Ken Arok.

Lihat pulaSunting

ReferensiSunting

  1. ^ Bullough, Nigel (1995). Historic East Java: Remains in Stone. Jakarta: ADLine Communications. pp. 116–117.

Bacaan lanjutanSunting

  • Poesponegoro & Notosusanto (ed.). 1990. Sejarah Nasional Indonesia Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka
  • Purwadi. 2007. Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Ilmu
  • R.M. Mangkudimedja. 1979. Serat Pararaton Jilid 2. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah
  • Slamet Muljana. 2005. Menuju Puncak Kemegahan (terbitan ulang 1965). Yogyakarta: LKIS
  • Slamet Muljana. 1979. Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara