Kamis, 30 Maret 2017

Makalah sejarah kebudayaan islam

     Latar Belakang
            Dinasti- dinasti kecil di sini yang dimaksud adalah semua wilayah yang biasanya dikepalai oleh seorang wali atau amir ( gubernur ) atas penunjukkan pemerintah pusat Baghdad. Hubungan antara keduanya secara struktural bersifat vertikal- konsultatif. Wilayah menjalankan pemerintahannya sejalan dengan pemerintah pusat. Wilayah harus mengirimkan pajak tahunan kepada pusat dalam jumlah yang sudah disepakati. Selanjutnya pusat memberikan jaminan otonomi terhadap wilayah. Namun, pada perkembangan selanjutnya, wilayah tersebut sedikit demi sedikit memperoleh otonomi penuh atau sengaja melepaskan diri dari pemerintahan pusat ( disintegration ) sehingga oleh para sejarawan disebut dinasti- dinasti kecil ( smaller dynasties ). 
            Oleh karena dinasti- dinasti baru tersebut secara geografis terletak di sebelah Barat dan Timur pemerintahan pusat ( Baghdad ), maka sebagian sejarawan menyebutnya dinasti- dinasti kecil di Barat dan Timur Baghdad. Sejarawan lain menyebutnya dinasti- dinasti Persia, dinasti- dinasti Turki, dan dinasti- dinasti Arab yang melihat berdasarkan atas asal- usul etnis dan wilayah kekuasaannya. Sementara sejarawan lain melihatnya dari satuan wilayah kekuasaannya; Mesir, Afrika Utara, Spanyol, atau Iran.

Dalam makalah sederhana ini penulis menggunakan klasifikasi pertama, yaitu dinasti- dinasti dibagi menjadi dua kelompok besar; Barat dan Timur Baghdad. Kelompok Barat meliputi dinasti- dinasti Idrisiyah, Aghlabiyah, Thuluniyah, Iksidiyah, dan Hamdaniyah. Pembahasan dalam makalah ini hanya fokus pada tiga dinasti saja, yakni Thuluniyah, Ikhsidiiyah, dan Hamdaniyah. Bagaimana latar belakang berdirinya, proses perkembangan dan kehancuran serta hal- hal penting lainnya akan diuraikan sebagaimana berikut.
B.       Rumusan Masalah
1.         Bagaimana kemunculan Dinasti-dinasti Kecil di Baghdad.
2.         Bagaimana perkembangan peradaban islam pada masa pemerintahan negara-negara Independen bagian barat Bagdad ( Idrisiyah, Aglabiah, Thuluniyah, dan Ikhsidiyah ).
  
BAB II
PEMBAHASAN

A.      KEMUNCULAN DINASTI-DINASTI KECIL DI BAGHDAD
Kemunculan dinasti-dinasti kecil paling sedikit mempunyai dua pola. Pertama,pemimpin lokal melakukan suatu pemberontakan yang berhasil dan menegakkan kemerdekaan penuh. Kedua, seseorang yang ditunjuk menjadi gubernur oleh khalifah menjadi sedemikian kuatnya sehingga ia tidak dapat digantikan dan menunjuk anaknya sebagai pengganti. Atas dasar itu, tidak heran jika dalam waktu yang relative singkat, baik di sebelah barat maupun timur Baghdad bermunculan dinasti-dinasti yang bersifat otonom dan lepas dari kontrol langsung Baghdad[1]Faktor-faktor yang mendorong berdirinya dinasti-dinasti kecil ini, yaitu :
1.        Adanya persaingan jabatan khalifah di antara keluarga raja dan munculnya sikap ashabiyah antara keturunan Arab dan non-Arab, tepatnya persaingan Arab dan Persia.
2.         Tumbuhnya dinasti-dinasti yang memisahkan diri dari kekuasaan pemerintahan pusat Baghdad ini tidak terlepas dari persaingan antara Bani Hasyim dan Bani Umayah dan munculnya Bani Ali, yang merupakan pecahan dari Bani Hasyim[2]
B.       Perkembangan Peradaban Islam Pada Masa Pemerintahan Negara-Negara Independen Bagian Barat Bagdad ( Idrisiyah, Aglabiah, Thuluniyah, Dan Ikhsidiyah ).
1.      Dinasti Idrisiyah (789-926 M)
Dinasti ini didirikan oleh salah seorang penganut syi’ah, yaitu Idris bin Abdullah pada tahun 172 H./789 M. Dinasti ini merupakan dinasti Syi’ah pertama yang tercatat dalam sejarah berusaha memasukkan syi’ah ke daerah Maroko dalam bentuk yang sanagt halus. Muhammad bin Idris merupakan salah seorang keturunan Nabi Muhammad saw, yaitu cucu dari Hasan, putra Ali bin Abi Thalib. Dengan demikian, dia mempunyai hubungan dengan garis imam-imam Syi’ah. Dia juga ikut ambil bagian dalam perlawanan keturunan Ali di Hijaz terhadap Abbasiyah pada tahun 169/786. Dan terpaksa pergi ke Mesir, kemudian ke Afrika Utara, di mana prestise keturunan Ali membuat para tokoh Barbar Zenata di Maroko Utara menerimanya sebagai pemimpin mereka. Berkat dukungan yang sangat kuat dari suku Barbar inilah, dinasti Idrisiyah lahir dan namanya dinisbahkan dengan mengambil Fez sebagai pusat pemerintahannya.
Ada dua alasan mengapa Dinasti Idrisiyah muncul dan menjadi dinasti yang kokoh dan kuat, yaitu karena adanya dukungan yang sangat kuat dari bangsa Barbar, dan letak geografis yang sangat jauh dari pusat pemerintahan Abbasiyah yang berada di Baghdad sehingga sulit untuk ditaklukkannya. Pada masa kekhalifahan Bani Abbasiyah dipimpin oleh Harun Ar-Rasyid, ( menggantikan Al-Hadi), Harun Ar-Rasyid merasa kedudukannya mulai terancam dengan hadirnya Dinasti Idrisiyah tersebut, oleh karena itu Harun Ar-Rasyid merencanakan untuk mengirimkan pasukannya dengan tujuan memeranginya. Namun, faktor geografis yang berjauhan, menyebabkan batalnya pengiriman pasukan. Harun Ar-Rasyid memakai alternatife lain, yaitu dengan mengirim seorang mata-mata bernama Sulaiman bin Jarir yang berpura-pura menentang Daulah abbasiyah sehingga Sulaiman mampu membnuh Idris dengan meracuninya. Taktik ini disarankan oleh Yahya Barmaki kepada khalifah Harun Ar-Rasyid.
Terbunuhnya Idris tidak dapat membuat kekuasaan Dinasti Idrisiyah menjadi tumbang karena bangsa Barbar telah bersepakat untuk mengikrarkan kerajaan meraka sebagai kerajaan yang merdeka dan independen. Dikabarkan pula bahwa Idris meninggalkan seorang hamba yang sedang mengandung anaknya. Dan ketika seorang hamba tersebut melahirkan, kaum Barbar memberikan nama Bayi tersebut dengan nama Idris dan mengikrarkannya sumpah setia kepadanya sebagimana yang pernah diikrarkan kepada bapaknya. Dan Idris inilah yang melanjutkan jejak bapaknya (idris bin Abdullah) dan disebut sebagai Idris 11.
Idris I dan putranya Idris II telah berhasil mempersatukan suku-suku Barbar, imigran-imigran arab yang berhasil dari Spanyol dan Tripolitania di bawah satu kekuasaan politik, mampu membangun kota Fez sebagai kota pusat perdagangan, kota suci, tempat tinggal Shorfa (orang-orang terhormat keturunan Nabi Hasan dan Husain bin Ali bin Abi Thalib), dan pada tahun 1959 di kota ini, telah didirikan sebuah masjid Fathima dan Universitas Qairawan yang terkenal.
Pada masa kekuasaan Muhammad bin Idris (828-836 M), dinasti Idrisiyah telah membagi-bagi wilayahnya kepada delapan orang saudaranya, walupun ia sendiri tetap menguasai Fez dan memiliki semacam supermasi moral terhadap wilayah-wilayah lainnya.
Pada masa Ali bin Muhammad (836-849 M), terjadi konflik antarkeluarga dengan kasus yang klasik, yaitu terjadi penggulingan kekuasaan yang pada akhirnya kekuasaan Ali pindah ke tangan saudaranya sendiri, yaitu Yhaya bin Muhammad.
Pada masa Yahya bin Muhammad ini, kota Fez banyak dikunjungi imigran dari Andalusia dan daerah afrika lainnya. Kota ini berkembang begitu pesat, baik dari segi pertumbuhan penduduk maupun pembangunan gudang-gudang megah.
Pada masa pemerintahan Yahya II ini terjadi kemerosotan yang disebabkan oleh ketidakmahiran Yahya II dalam mengatur pemerintahannya, sehingga terjadilah pembagian wilayah kekuasaan. Yahya juga pernah terlibat perbuatan yang tidak bermoral terhadap kaum wanita. Sebagai akibatnya, ia harus melarikan diri karena diusir oleh penduduk Fez dan mencari perlindungan di Andalusia sampai akhir hayatnya pada tahun 866 M.
Dalam suasana yang mengecewakan rakyat, seorang penduduk Fez bernama Abdurrahman bin Abi Sahl Al-Judami mengambil kesempatan untuk menarik keuntungan dengan jalan mengambil alih kekuasaan. Namun, istri Yahya (anak perempuan dari saudara sepupunya), Ali bin Umar berhasil menguasai wilayah Kawariyyer (qairawan) dan memulihkan ketentraman dengan bantuan ayahnya. Pada masa Yahya III, pemerintahan yang semrawut ditertibkan kembali sehingga menjadi tentram dan aman
Yahya IV ini berhasil mempersatukan kembali wilayah-wilayah yang dikuasai oleh kerabat-kerabat yang lainnya, dan sejak itu dinasti Idrisiyah terlibat dalam persaingan antara dua kekuasaan besar, yaitu Bani Umayyah dari spanyol dan dinasti Bani Fatimiyah dari Mesir dalam memperebutkan supremasi dari Afrika Utara.
Setelah masa Yahya IV, saat kota Fez dan wilayah-wilayah Idrisiyah menjadi pertikaian, seorang cucu Idris II, yang bernama Al-Hajjam berhasil menguasai Fez dan daerah sekitarnya. Akan tetapi, ia kemudian mendapatkan pengkhianatan dari seorang pemimpin setempat sehingga kekuaaanya hilang dan hidupnya berakhir pada tahun 926 M, sedangkan anak-anak dan saudara-saudaranya mengundurkan diri ke daerah sebelah utara (suku Barbar Gumara).
Ada juga satu riwayat yang menerangkan bahwa jatuhnya Dinasti Idrisiyah disebebkan oleh Khalifah Muhammad Al-Muntashir yang membagi-bagikan kekuasaannya kepada saudara-saudaranya yang cukup banyak, sehingga mengakibatkan pecahnya Idrisiyah secara pilitis. Perpecahan tersebut merupakan faktor yang membahayakan keberadaan dinasti Idrisiyah karena dalam waktu bersamaan, datang pula serangan dari dinasti Fatimiah.
Pada masa kepemimpinan Yahya III, dinasti Idrisiyah ditaklukkan oleh Fatimiyah dan Yahya terusir dari kerajaan hingga wafatnya di Madinah. Dengan berakhirnya  Yahya, berakhirnya pula riwayat dinasti Idrisiyah[3]Setelah Imam Ali Ibn Abi Thalib terbunuh, keturunan Ali ra. Terus berjuang untuk memperoleh kekuasaan. Di antara Husen Ibn Ali di Madinah pada zaman Dinasti Umayah.
2.      Disasti Aghlabiyah
Dinasti Aghlabiyah adalah salah satu Dinasti Islam di Afrika Utara yang berkuasa selama kurang lebih l00 tahun (800-909 M).Wilayah kekuasaannya meliputi Ifriqiyah, Algeria dan Sisilia.Dinasti ini didirikan oleh Binu Aghlab.
Aghlabiyah memang merupakan Dinasti kecil pada masa Abbasiyah, yang para penguasanya adalah berasal dari keluarga Bani al-Aghlab, sehingga Dinasti tersebut dinamakan Aghlabiyah.Awal mula terbentuknya Dinasti tersebut yaitu ketika Baghdad di bawah pemerintahan Harun ar-Rasyid. Di bagian Barat Afrika Utara, terdapat dua bahaya besar yang mengancam kewibawaannya. Pertama dari Dinasti Idris yang beraliran Syi’ah dan yang kedua dari golongan Khawarij.
Dengan adanya dua ancaman tersebut terdoronglah Harun ar-Rasyid untuk menempatkan balatentaranya di Ifriqiyah di bawah pimpinan Ibrahim bin Al-Aghlab. Setelah berhasil mengamankan wilayah tersebut, Ibrahim bin al-Aghlab mengusulkan kepada Harun ar-Rasyid supaya wilayah tersebut dihadiahkan kepadanya dan anak keturunannya secara permanen. Karena jika hal itu terjadi, maka ia tidak hanya mengamankan dan memerintah wilayah tersebut, akan tetapi juga mengirim upeti ke Baghdad setiap tahunnya sebesar 40.000 dinar. Harun ar-Rasyid menyetujui usulannya, sehingga berdirilah Dinasti kecil (Aghlabiyah) yang berpusat di Ifrikiah yang mempunyai hak otonomi penuh. Meskipun demikian masih tetap mengakui akan kekhalifahan Baghdad[4]. Sehinggah akhirnya berdirilah dinasti Aghlabiyah.
Pendiri Dinasti ini adalah Ibrahim bin al-Aghlab pada tahun 800 M. Pada tahun itu Ibrahim diberi provinsi Ifriqiyah (Tunisia Modern) oleh Harun al-Rasyid sebagai imbalan atas pajak tahunan yang besarnya 40.000 dinar dan meliputi hak-hak otonom yang besar. Untuk menaklukkan wilayah baru dibutuhkan suatu proses yang panjang dan perjuangan yang besar, namun tidak seperti Ifriqiyyah yang sifatnya adalah pemberian Dinasti Aghlabiyah berkuasa kurang lebih dari satu abad, mulai dari tahun 800-909 M.
Nama Dinasti Aghlabiyah ini diambil dari nama ayah Amir yang pertama, yaitu Ibrahim bin al-Aglab. Ia adalah seorang pejabat Khurasan dalam militer Abbasiyah. Pada tahun 800 M. Ibrahim I diangkat sebagai Gubernur (Amir) di Tunisia oleh Khalifah Harun ar-Rasyid.
Karena ia sangat pandai menjaga hubungan dengan Khalifah Abbasiyah seperti membayar pajak tahunan yang besar, maka Ibrahimi I diberi kekuasaan oleh Khalifah, meliputi hak-hak otonomi yang besar seperti kebijaksanaan politik, termasuk menentukan penggantinya tanpa campur tangan dari penguasa Abbasiyah. Hal ini dikarenakan jarak yang cukup jauh antara Afrika Utara dengan Bagdad. Sehingga Aghlabiyah tidak terusik oleh pemerintahan Abbasiyah[5]. Jadi Ibrahimi diberikan kekuasaan karena kemahirannya menjaga hubungan baik dengan Khalifah Abbasiah.
Pemerintahan Aghlabiyah pertama berhasil memadamkan gejolak yang muncul dari Kharijiyah Barbar di wilayah mereka. Kemudian di bawah Ziyadatullah I, Aghlabiyah dapat merebut pulau yang terdekat dari Tunisia, yaitu Sisilia dari tangan Byzantium 827 M, dipimpin oleh panglima Asad bin Furat, dengan mengerahkan panglima laut yang terdiri dari 900 tentara berkuda dan 10.000 orang pasukan jalan kaki. Inilah ekspedisi laut terbesar. Ini juga peperangan akhir yang dipimpin panglima Asad bin Furad karena itu, ia meninggal dalam pertempuran. Selain untuk memperluas wilayah penaklukan terhadap Sicilia juga bertujuan untuk berjihad melawan orang-orang kafir.Wilayah tersebut menjadi pusat penting bagi penyebaran peradaban Islam ke Eropa Kristen.
Aspek yang menarik pada Dinasti Aghlabiyah adalah ekspedisi lautnya yang menjelajahi pulau-pulau di Laut Tengah dan pantai-pantai Eropa seperti pantai Italia Selatan, Sardinia, Corsica, dan lpen.Selain itu juga berhasil menaklukan kota-kota pantai Itali, Brindisi, Napoli, Calabria, Totonto, Bari, dan Benevento.Dan pada tahun 868 M, mampu menduduki Malpa. Dengan berhasilnya penaklukan-penaklukan di atas Dinasti Aghlabiyah menjadi Dinasti yang kaya, sehingga para penguasa Aghlabiyah antusias dalam bidang pembangunan.
Keberhasilan penguasaan seluruh pulau Sisilia inilah yang membuat Aghlabiyah unggul di Mediterania Tengah.Setelah Aghlabiyah melanjutkan serangan-serangannya ke pulau lainnya dan pantai-pantai di Eropa, termasuk berhasil mmenguasai kota-kota pantai Italia Brindisi (836/221 H.) Napoli (837M), Calabria (838 M), Toronto (840 M ), Bari (840 M), dan Benevento (840 M). Karena tidak tahan terhadap serangan berkepanjangan dari pasukan Aghlabiyah pada Bandar-bandar Itali, termasuk kota Roma, maka Paus Yonanes VIII (872– 840 M) terpaksa minta perdamaian dan bersedia membayar upeti sebanyak 25.000 uang perak pertahun kepada Aghlabiyah.
Pasukan Aghlabiyah juga berhasil menguasai kota Regusa di pantai Yugoslavia (890 M), Pulau Malta (869 M), menyerang pulau Corsika dan Mayorka, bahkan mengusai kota Portofino di pantai Barat Italia (890), kota Athena di Yunani-pun berada dalam jangkauan penyerangan mereka. Dengan keberhasilan penaklukan-penaklukan tersebut, menjadikan Dinasti Aghlabiyah kaya raya, para penguasa bersemangat membagun Tunisia dan Sisilia.Ziyadatullah I membangun masjid Agung Qairuan, sedangkan Amir Ahmad membangun masjid Agung Tunis dan juga membangun hampir 10.000 benteng pertahanan di Afrika Utara.Tidak cukup itu, jalan-jalan, pos-pos, armada angkutan, irigasi untuk pertanian (khususnya di Tunisia Selatan, yang tanahnya kurang subur), demikian pula perkembangan arsitektur, ilmu, seni dan kehidupan keberagamaan.
Selain sebagai ibu kota Dinasti Aghlabiyah, Qairuan juga sebagai pusat penting munculnya mazhab Maliki, tempat berkumpulnya ulama-ulama terkemuka, seperti ahnun yang wafat (854 M) pengarang mudawwanat, kitab fiqih Maliki, Yusuf bin Yahya, yang wafat (901 M), Abu Zakariah al-Kinani, yang wafat (902 M), dan Isa bin Muslim, wafat (908 M). Karya-karya para ulama-ulama pada masa Dinasti Aghlabiyah ini tersimpan baik di Masjid Agung Qairuan[6].
a.    Peninggalan-peninggalan Bersejarah Dinasti Aghlabiah
Aghlabiyah adalah pembangun yang penuh semangat. Diantara bangunan-bangunan peninggalan Aghlabiah adalah:
1)        Pembangunan kembali Masjid Agung Qayrawan oleh ZiyadatullahI
2)         Pembangunan Masjid Agung Tunis oleh Ahmad.
3)        Pembangunan karya-karya pertanian dan irigasi yang bermanfaat, khususnya di Ifriqiyah selatan yang kurang subur.
b.     Kemunduran Dinasti Aghlabiyah
Menjelang akhir abad IX, posisi Aghlabiah di Ifqriqiyah menjadi merosot. Hal ini disebabkan karena amir terakhirnya yaitu Ziyadatullah III tenggelam dalam kemewahan (berfoya-foya), dan seluruh pembesarnya tertarik pada Syi’ah, juga propaganda Syi’iah, Abu Abdullah. Perintis Fatimiyah, Mahdi Ubaidillah mempunyai pengaruh yang cukup besar di Barbar, yang akhirnya menimbulkan pemberontakan militer, dan Dinasti Aghlabiyah dikalahkan oleh Fatimiyah (909 M), Ziyadatullah III di usir ke Mesir setelah melakukan upaya-upaya yang sia-sia demi untuk mendapatkan bantuan dari Abbasiah untuk menyelamatkan Aghlabiah[7]. Dan akhirnya dinasti Aghlabiyah mundur.
3.      Dinasti Thuluniyah ( 868- 901 M ).
Dinasti Thuluniyah mewakili dinasti lokal pertama di Mesir dan Suriah yang memperoleh otonomi dari Baghdad. Dinasti ini didirikan oleh Ahmad Ibn Thulun. Ahmad Ibn Thulun seorang prajurit Turki. Seperti orang- orang Turki lainnya, ia memperoleh peluang besar untuk menjabat di lingkungan istana. Ayah Ibn Thulun menjabat sebagai komandan pegawai istana. Ibn Thulun sudah barang tentu dibesarkan di lingkungan militer yang keras dan ketat. Inilah yang melatarbelakangi garis politik Ibn Thulun selanjutnya[8]. Karena dari kecil lingkungannya adalah lingkungan militer.
Ahmad Ibn Thulun ini dikenal sebagai sosok yang gagah dan berani, dia juga seorang yang dermawan, hafidz, ahli dibidang sastra, syariat dan militer[9]. Sehinggah Ahmad Ibn Thulun sangat terkenal dengan kemahirannya.Pada mulanya, Ahmad Ibn Thulun datang ke Mesir sebagai wakil gubernur Abbasiyah, lalu menjadi gubernur yang wilayah kekuasaannya sampai ke Palestina dan Suriah[10]Pada abad ke 9 Masehi menjadi kebiasaan para wali ( gubernur ) untuk tetap tinggal di istana Baghdad, sementara tugasnya dilaksanakan oleh para wakilnya. Tahun 868 M, Ibn Thulun dikirim ke Mesir sebagai wakil wali.
Karena ia bekerja secara efisien, populer dan bersedia tinggal di Mesir maka para gubernur Mesir berikutnya tidak menggantikannya. Pada tahun ini dia resmi diangkat oleh khalifah al-Mu’taz sebagai wali Mesir. Di saat Baghdad mengalami krisis yang menyebabkan khalifah al- Mu’taz meninggal, Ibn Thulun memanfaatkan situasi ini untuk melepaskan diri dari kekuasaan Baghdad[11].
Dalam membangun negerinya mula - mula ia menciptakan stabilitas keamanan dalam negeri. Setelah situasi relatif stabil, beralihlah perhatiannya kepada pembangunan bidang ekonomi, irigasi diperbaiki, pertanian ditingkatkan, perdagangan digiatkan sehingga pemasukan meningkat. Kemudian dalam bidang keamanan dia membangun angkatan perang dari oarng - orang Turki Negro dan lainnya. Dengan kuatnya militer, Ibn Thulun melakukan ekspansi ke Syam[12].Ibn Thulun melakukan perkembangan setelah situasi relatifstabil.
 Setelah Ibn Thulun, kepemimpinan Mesir dilanjutkan oleh keturunannya, Khumarawaih, Jaisy, Harun dan terakhir Syaiban. Di bawah kepemimpinan Khumarawaih, dinasti Thuluniyah mencapai kejayaannya. Khalifah al Mu’tamid terpaksa harus menyerahkan wilayah kekuasaan pada Thuluniyah meliputi Mesir, Suriah, sampai gunung Taurus dan Mesopotamia, kecuali Mosul. Untuk menjalin hubungan baik dengan pemerintah Abbasiyah, khalifah al Mu’tadid dinikahkan dengan putri Khumarawaih.
Pada akhir pemerintahan Khumarawaih dinasti ini tampak mulai melemah karena kemewahan hidup Khumarawaih sendiri dan ketidakmampuannya mengendalikan administrasi dan tentara. Setelah dia meninggal, kepemimpinan diteruskan oleh putranya, Jaisy yang hanya memerintah satu tahun. Jaisy digulingkan oleh saudaranya, Harun yang kemudian memerintah selama sembilan tahun. Kemudian Harun tewas ketika meletus pemberontakan di Mesir. Pemerintahn berikutnya dipegang oleh pamannya, Syaiban yang hanya memerintah beberapa bulan. Pada tahun ini juga dinasti Thuluniyah kembali direbut oleh pemerintahan Abbasiyah. Ketidakmampuan wali terakhir Thuluniyah mengendalikan sekte-sekte Qaramithi di gurun Syiria membuat khalifah mengirimkan tentara untuk menaklukkan Syiria dan kemudian merebut Thuluniyah serta membawa keluarga dinasti yang masih hidup ke Baghdad. Setelah ditaklukkan , dinasti Thuluniyah jatuh dan hancur[13]. Jadi runtuhnya dinasti Thuluniyah akibat kemunduranyya dalam memimpin sehinggah diambil ahli oleh pemerintahan Abbasiyah.
Dinasti Thuluniyah juga ikut dalam memperkaya peradaban Islam. Contoh kemajuan prestasi dinasti Thuluniyah adalah dalam bidang arsitektur, telah berdiri sebuah masjid Ahmad Ibn Thulun yang megah, pembangunan rumah sakit yang memakan biaya cukup besar sampai 60.000 dinar, dan bangunan istana al Khumarawaih dengan balairung emasnya. Kemajuan prestasi bidang lainnya adalah di bidang militer. Thuluniyah mempunyai 100.000 prajurit yang cakap dan terlatih dari orang Turki dan budak belian dari bangsa Negro. Thuluniyah membangun benteng- benteng yang kokoh di atas pulau ar Raudah. Pada masa itu juga banyak dibangun irigasi sebagai sarana pertanian yang terletak di lembah sunagi Nil[14]. Itulah perkembangan yang dilakukan dinastu Thuluniyah pada peradaban islam.
4.    Dinasti Iksidiyah ( 935- 965 M )
Dinasti ini didirikan oleh Muhammad Ibn Tughi yang diberi gelar al- Ikhsidi (pangeran) pada tahun 935 M. Muhammad Ibn Tughi adalah perwira Turki yang diangkat menjadi seorang gubernur di Mesir oleh Abbasiyah pada saat Ar Radi atas jasanya mempertahankan dan memulihkan keadaaan wilayah Nil dari serangan Fatimiyah yang berpusat di Afrika Utara[15]. Oleh karena jasanya maka dijadikan seorang gubernur oleh Abbasiah.
Strategi pertama yang ia lakukan adalah memperkokoh angkatan perang dan mengajukan permohonan perluasan wilayah kekuasaan dengan syarat dia tetap tunduk dan setia pada Baghdad. Akhirnya, permohonan tersebut dikabulkan. Dia diberi wewenang wilayah Syam, disamping semakin memperoleh kepercayaan, baik dari masyarakat maupun khalifah karena keberhasilannya dalam mengembangkan perekonomian rakyat dan mengatasi gerakan Fatimiyah[16].Kerena keberhasilannya dia dengan mudah mendapatkan kepercayaan, sehinggah merupakan salah satu keuntungan untuk membuat semakin berhasil.
Sewaktu Iksidi wafat, kedua putranya belum dewasa. Oleh karena itu, kekuasaan dilimpahkan kepada gurunya, Kafur al Ikhsidi. Kafur memproklamirkan diri sebagai wali. Berkat kepandaian Kafur, gerak maju Fathimi di sepanjang pantai Afrika Utara dapat ditahan, begitu pula dinasti Hamdani di Syiria Utara. Hanya setelah meninggalnya Kafur, Iksidiyah menjadi dinasti yang lemah. Pada masa itu, Abu al Fawarisaris Ahmad Ibn Ali yang menerima tahta setelah Kafur tidak bertahan lama karena kepemimpinannya yang sangat lemah. Sehingga serangan yang terus menerus dilancarkan oleh Fatimiyah terhadap pemerintahnnya membuat dinasti ini tidak berdaya dan tidak mampu mempertahankan kekuasaannya di Mesir. Sehingga dinasti ini dapat ditaklukkan oleh Fatimiyah.
 Pada masa dinasti Iksidiyah ini pula terjadi peningkatan dalam dunia keilmuan dan gairah intelektual, seperti mengadakan diskusi- diskusi keagamaan yang berpusat di masjid- masjid. Juga dibangun sebuah pasar buku besar sebagai pusat dan tempat berdiskusi yang dikenal denagn nama Syuq Al Waraqin. Lahir pula ilmuwan besar seperti Abu Ishaq al Mawazi, Hasan Ibn Rasyid al Mishri, Muhammad Ibn Walid al Tamimi, Abu Amar al Kindi dan al Tayid al Mutanabi. Di samping itu, dinasti ini mewariskan bangunan- bangunan megah seperti sebuah Istana al Mukhtar di Raudah dan taman yang dikenal dengan Bustan al Kafuri, di samping itu didirikan sebuah gelanggang yang disebut Maydan al Ikhsidi[17].

BAB III
PENUTUP

 

A.      KESIMPULAN
Dari penjelasan yang telah dikemukakan di atas maka dapat ditarik kesimpulan beberapa kesimpulan, bahwa munculnya dinasti-dinasti disebabkan beberapa faktor diantaranya :
1.    Adanya persaingan jabatan khalifah di antara keluarga raja dan munculnya sikap ashabiyah antara keturunan Arab dan non-Arab, tepatnya persaingan Arab dan Persia.
2.    Tumbuhnya dinasti-dinasti yang memisahkan diri dari kekuasaan pemerintahan pusat Baghdad ini tidak terlepas dari persaingan antara Bani Hasyim dan Bani Umayah dan munculnya Bani Ali, yang merupakan pecahan dari Bani Hasyim.
Perkembangan peradaban islam pada masa pemerintahan negara-negara independen  bagian barat Bagdad:
1. Dinasti Idrisiyah
Dinasti Idrisiyah adalah dinasti kecil pada masa bani Abbasiyah yang terletak ditepi barat Baghdad. Dinasti Idrisiyah didirikan oleh penganut syi'ah, yaitu Idris bin Abdullah keturuna Nabi cicit dari Hasan pada tahun 172 H / 789 M dengan dukungan kaum Bar-barFez adalah ibukota dari Dinasti IdrisiyahDinasti Idrisiya mencapai kejayaan pada masa Idrisiyah IIKeruntuhan dinasti Idrisiyah selain dari faktor internal juga dari faktor ekternal yaitu terkepung dinasti Idrisiyah di antara Fatimiyah Mesir dan Umayyah Spanyol
2.   Dinasti Aghlabiyah
Dinasti Aghlabiyah adalah salah satu Dinasti Islam di Afrika Utara yang berkuasa selama kurang lebih l00 tahun (800-909 M).  Dinasti ini didirikan dan Nama Dinasti Aghlabiyah ini diambil dari nama ayah Amir yang pertama, yaitu Ibrahim bin al-Aghlab 800-812 M.  Ifriqiyah adalah ibukota Dinasti AghlabiyahDinasti Aghlabiyah mencapai kejayaan pada masa awal-awal pemerintahan dengan perluasan wilayahnya, termasuk pembangunan.  Kemunduran Dinasti ini dikarenakan nafsu keduniaan sang Ziyadatullah III yang sangat tinggi sehingga pada akhirnya dapat ditumbangkan juga oleh Dinasti Fatimiyah.
3.       Dinasti Thuluniyah
Dinasti Thuluniyah mewakili dinasti lokal pertama di Mesir dan Suriah yang memperoleh otonomi dari Baghdad. Dinasti ini didirikan oleh Ahmad Ibn ThulunDinasti Thuluniyah juga ikut dalam memperkaya peradaban Islam. Contoh kemajuan prestasi dinasti Thuluniyah adalah dalam bidang arsitektur, telah berdiri sebuah masjid Ahmad Ibn Thulun yang megah, pembangunan rumah sakit yang memakan biaya cukup besar sampai 60.000 dinar, dan bangunan istana al Khumarawaih dengan balairung emasnya. Kemajuan prestasi bidang lainnya adalah di bidang militer. Thuluniyah mempunyai 100.000 prajurit yang cakap dan terlatih dari orang Turki dan budak belian dari bangsa Negro. Thuluniyah membangun benteng- benteng yang kokoh di atas pulau ar Raudah. Pada masa itu juga banyak dibangun irigasi sebagai sarana pertanian yang terletak di lembah sunagi Nil.
4.         Dinasti Ikhsidiyah
Dinasti ini didirikan oleh Muhammad Ibn Tughi yang diberi gelar al- Ikhsidi (pangeran) pada tahun 935 M. Pada masa dinasti Iksidiyah ini pula terjadi peningkatan dalam dunia keilmuan dan gairah intelektual, seperti mengadakan diskusi- diskusi keagamaan yang berpusat di masjid- masjid. Juga dibangun sebuah pasar buku besar sebagai pusat dan tempat berdiskusi yang dikenal denagn nama Syuq Al Waraqin. Lahir pula ilmuwan besar seperti Abu Ishaq al Mawazi, Hasan Ibn Rasyid al Mishri, Muhammad Ibn Walid al Tamimi, Abu Amar al Kindi dan al Tayid al Mutanabi. Di samping itu, dinasti ini mewariskan bangunan- bangunan megah seperti sebuah Istana al Mukhtar di Raudah dan taman yang dikenal dengan Bustan al Kafuri, di samping itu didirikan sebuah gelanggang yang disebut Maydan al Ikhsidi.
B.       KRITIK dan SARAN
Disadari sepenuhnya bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan, didalamnya terdapat banyak kesalahan, kekeliruan dan kekurangan oleh karena itu sangat diharapkan kritik dan saran dari teman-teman sekalian untuk membuat makalah ini kearah yang lebih baik dari sebelumnya. Adapun saran, semoga tulisan ini dapat dijadihkan pelajaran dan bermanfaat bagi pembacanya.
DAFTAR PUSTAKA

Bosworth, C.EDinasti Dinasti Islam.  Bandung: Mizan, 1993.
DediSejarah Peradaban IslamBandung: Pustaka Setia2008.
Hakim, Moh. Nur, Sejarah Dan Peradaban Islam. Malang: UMM Press, 2004.
K. HittiPilipHistory Of The Arabs.  Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2006.
_________. History of the Arab, Terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet RiyadiJakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2010.
http. file: ///D:/ Akademis/ semester%20IV/ SPI%20III%20%281258- 1800%29/ idrisiyah/ dinasti-aghlabiyah-dinasti-islam-kecil.html.

MaslaniSejarah Peradaban Islam, Bandung: Insan Mandiri, 2010.
Supriyadi, Dedi. Sejarah Peradaban Islam. Bandung: Pustaka Setia, 2008.








[1] Drs MaslaniSejarah Peradaban Islam, ( Bandung: Insan Mandiri, 2010), h. 127.

[2] Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), h. 145.

[3] Dedi  M. Ag. Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Setia 2008).  h. 156.
[4]Pilip K. Hitti, History of the Arab, Terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi, (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2010), h. 570.

[5]http. file: ///D:/ Akademis/ semester%20IV/ SPI%20III%20%281258- 1800%29/ idrisiyah/ dinasti-aghlabiyah-dinasti-islam-kecil.html.
[6]http. file: ///D:/ Akademis/ semester%20IV/ SPI%20III%20%281258- 1800%29/ idrisiyah/ dinasti-aghlabiyah-dinasti-islam-kecil.html
[7]C.E. Boswort, Op.Cit.  h. 46.
[8]Moh. Nur Hakim, Sejarah Dan Peradaban Islam, (Malang: UMM Press, 2004), h. 81.
[9]Philip K. Hitti, History Of The Arabs, ( Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2006), h. 452.
[10]C. E. Bosworth, Dinasti Dinasti Islam ( Bandung: Mizan, 1993), h. 67.
[11]Moh. Nur Hakim, Op.cit, h. 82.
[12]Ibid. h.84.
[13]Dedy Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, ( Bandung: Pustaka Setia, 2008), h. 166.
[14]Philip K. Hitti,Op.cit, h. 454.
[15]Dedy supriydi, Op.cit, h.166
[16]Moh. Nur Hakim,Op.cit. h. 83.

[17]Ibid, hal. 84

Tidak ada komentar: