Kesultanan Palembang Darussalam adalah suatu kerajaan Islam di Indonesia yang berlokasi di sekitar kota Palembang, Sumatera Selatan sekarang. Kesultanan ini diproklamirkan menjadi kerajaan Islam oleh Sri Susuhunan Abdurrahman, dan dihapuskan keberadaannya oleh pemerintah kolonial Belanda pada 7 Oktober 1823.
Malthe Conrad Bruun (1755-1826) seorang petualang dan ahli geografi dari Perancis mendeskripsikan keadaan masyarakat dan kota kerajaan waktu itu, yang telah dihuni oleh masyarakat yang heterogen terdiri dari Tionghoa, Siam, Melayu dan Jawa serta juga disebutkan bangunan yang telah dibuat dengan batu bata hanya sebuah vihara dan istana kerajaan.
Sejarah
Menurut riwayat, berdirinya Kesultanan Palembang Darussalam diawali dengan eksistensi Kerajaan Palembang pada abad ke-15. Berdirinya Kerajaan Palembang merupakan dampak atas penaklukan Kerajaan Sriwijaya oleh Majapahit pada tahun 1375 Masehi. Selepas penaklukan, ternyata Majapahit tidak dapat mengontrol wilayah Sriwijaya dengan baik yang berakibat terjadinya dominasi oleh para saudagar dari Tiongkok di wilayah yang sekarang dikenal dengan nama Palembang itu.
Atas pengaruh dari orang-orang Tiongkok itu, besar kemungkinan bahwa itulah asal-muasal penamaan “Palembang”. Salah satu faktor penguatnya adalah seperti yang tercantum dalam karya dua orang penulis asal Tiongkok, yakni Chau Ju Kua dengan karya berjudul Chufanshi (1225 M) dan Toa Cih Lio hasil karya Wong Ta Yuan (1345 – 1350 M). Dalam kedua karya tersebut tercantum kata “Palinfong” untuk menyebut bandar dagang di wilayah yang sekarang kita kenal dengan nama Palembang (Djohan Hanafiah, 1995:16; www.unitkerja.palembang.go.id).
Lahirnya Kesultanan Palembang Darussalam
Pengaruh kuat orang-orang Tiongkok berakhir ketika Kerajaan Majapahit mengirimkan utusannya untuk memimpin Palembang. Utusan itu bernama Arya Damar, putra Prabu Brawijaya V atau Bre Kertabumi (1468 - 1478 M), raja terakhir Majapahit versi naskah-naskah babad dan serat (http://id.wikipedia.org/wiki/Brawijaya).
Setibanya di Palembang, Arya Damar segera membangun kekuatan untuk merebut kembali pengaruh yang telah dipegang oleh orang-orang Tiongkok. Bersama dengan Demang Lebar Daun, putra Sultan Mufti, penguasa di daerah Pagaruyung, Minangkabau, Arya Damar berhasil mendapatkan kembali pengaruh di wilayah Palembang yang sempat lepas.
Tentang Demang Lebar Daun, Abdullah bin Abdulkadir Munsyi dalam Sejarah Melayu (1612), menulis sebagai berikut: “… ada sebuah negeri di tanah Andalas, Perlembang namanya, Demang Lebar Daun nama rajanya, …” (Hanafiah, 1995:19). Sebagai catatan, bahwa nama “Perlembang” di dalam Sejarah Melayu sama artinya dengan nama “Palembang” seperti yang dikenal sekarang.
Arya Damar yang kemudian memeluk Islam, mengganti namanya menjadi Arya Abdillah atau Arya Dillah dan menikah dengan anak Demang Lebar Daun yang bernama Puteri Sandang Biduk. Setelah berhasil menguasai Palembang, Arya Dillah menobatkan diri sebagai raja yang berkuasa antara tahun 1445 – 1486 M (Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin, 2008:8).
Arya Dillah pernah mendapat hadiah seorang selir dari Prabu Brawijaya V, yaitu perempuan keturunan Tionghoa yang dikenal sebagai Puteri Champa. Ketika dibawa ke Palembang, Puteri Champa tengah mengandung. Setelah resmi diperistri oleh Arya Damar, lahirlah bayi yang diberi nama Raden Patah (Badaruddin, 2008:8). Raden Patah ini nantinya akan menjadi raja pertama di Kesultanan Demak (1476 – 1568 M) bergelar Senapati Jimbun Ningrat Ngabdurahman Panembahan Palembang Sayidin Panatagama (1478 – 1518 M).
Pada awalnya, Kerajaan Palembang menempati daerah yang bernama Kuto Gawang sebagai pusat pemerintahan. “Gawang” dalam bahasa Jawa kuno diartikan sebagai “terang benderang” (L. Mardiwarsito, 1986, dalam Retno Purwanti, 2004:175). Setelah terjadi pergantian beberapa kali penguasa, pada sekitar tahun 1610 M, Kerajaan Palembang menjalin hubungan dengan VOC (Vereenigde Oost indische Compagnie). Dalam perkembangan kemudian, ternyata hubungan antara VOC dengan Kerajaan Palembang menyisipkan perang besar yang terjadi pada tahun 1659 M.
Dalam perang tersebut VOC membumihanguskan Kuto Gawang. Akibatnya, Raja Palembang saat itu, Pangeran Seda Ing Rajek, melarikan diri ke Inderalaya (sekarang termasuk wilayah Kabupaten Ogan Kumering Hilir). Sepeninggal Pangeran Seda Ing Rajek, tampuk kepemimpinan di Kerajaan Palembang diserahkan kepada Ki Mas Hindi Pangeran Arya Kesuma (Retno Purwanti, 2004:20).
Kuto Gawang
Pada awal abad ke-17, Palembang menjadi pusat pemerintahan kerajaan yang bernuansa Islam dengan pendirinya Ki Gede ing Suro, bangsawan pelarian dari Kesultanan Demak akibat kemelut politik setelah mangkatnya Sultan Trenggana. Pada masa ini pusat pemerintahan di daerah sekitar Kelurahan 2-Ilir, di tempat yang sekarang merupakan kompleks PT Pupuk Sriwijaya. Secara alamiah lokasi keraton cukup strategis, dan secara teknis diperkuat oleh dinding tebal dari kayu unglen dan cerucup yang membentang antara Plaju dengan Pulau Kembaro, sebuah pulau kecil yang letaknya di tengah Sungai Musi. Keraton Palembang yang dibangunnya itu disebut Keraton Kuto Gawang yang bentuknya empat persegi panjang dibentengi dengan kayu besi dan kayu unglen yang tebalnya 30 x 30 cm/batangnya. Kota berbenteng yang di kemudian hari dikenal dengan nama Kuto Gawang ini mempunyai ukuran 290 Rijnlandsche roede (1093 meter) baik panjang maupun lebarnya. Tinggi dinding yang mengitarinya 24 kaki (7,25 meter). Orang-orang Tionghoa dan Portugis berdiam berseberangan yang terletak di tepi sungai Musi. Kota berbenteng ini sebagaimana dilukiskan pada tahun 1659 (Sketsa Joan van der Laen), menghadap ke arah Sungai Musi (ke selatan) dengan pintu masuknya melalui Sungai Rengas. Di sebelah timurnya berbatasan dengan Sungai Taligawe, dan di sebelah baratnya ber¬batasan dengan Sungai Buah. Dalam gambar sketsa tahun 1659 tampak Sungai Taligawe, Sungai Rengas, dan Sungai Buah tampak terus ke arah utara dan satu sama lain tidak bersambung. Sebagai batas kota sisi utara adalah pagar dari kayu besi dan kayu unglen. Di tengah benteng keraton tampak berdiri megah bangunan keraton yang letaknya di sebelah barat Sungai Rengas. Benteng keraton mempunyai tiga buah baluarti (bastion) yang dibuat dari konstruksi batu. Orang-orang asing ditempatkan/ber¬mukim di sebe¬rang sungai sisi selatan Musi, di sebelah barat muara sungai Komering (sekarang daerah Seberang Ulu, Plaju).
Beringin Janggut
Setelah Keraton Kuto Gawang dihancurkan VOC tahun 1659, oleh Susuhunan Abdurrahman pusat pemerintahan dipindahkan ke Beringin Janggut yang letaknya di sekitar kawasan Mesjid Lama (Jl. Segaran). Sayang data tertulis maupun gambar sketsa mengenai keberadaan, bentuk, dan ukuran keraton ini hingga saat ini tidak ada. Daerah sekitar Keraton Beringin Janggut diba¬tasi oleh sungai-sungai yang saling berhubungan. Kawasan keraton di¬batasi oleh Sungai Musi di selatan, Sungai Tengkuruk di sebelah barat, Sungai Penedan di sebelah utara, dan Sungai Rendang/Sungai Karang Waru di sebelah timur. Sungai Penedan merupakan sebuah kanal yang menghubungkan Sungai Kemenduran, Sungai Kapuran, dan Sungai Kebon Duku. Karena sungai-sungai ini saling berhubungan, penduduk yang mengadakan perjalanan dari Sungai Rendang ke Sungai Tengkuruk, tidak lagi harus keluar melalui Sungai Musi. Dari petunjuk ini dapat diperoleh gambaran bahwa aktivitas sehari-hari pada masa itu telah berlang¬sung di darat agak jauh dari Sungai Musi.
Kuto Tengkuruk
Kawasan inti Keraton Kesultanan Palembang-Darussalam pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin I luasnya sekitar 50 hektare dengan batas-batas di sebelah utara Sungai Kapuran, di sebelah timur berbatasan dengan Sungai Tengkuruk (sekarang menjadi Jl. Jenderal Soedirman), di sebelah selatan berbatasan dengan Sungai Musi, dan di sebelah barat berbatasan dengan Sungai Sekanak. Pada awalnya di areal tanah yang luasnya sekitar 50 hektare ini hanya terdapat bangunan Kuto Batu atau Kuto Tengkuruk dan Masjid Agung dengan sebuah menara yang atapnya berbentuk kubah. Pada saat ini batas kota Palembang kira-kira di sebelah timur berbatasan dengan Kompleks PT. Pusri, di sebelah selatan berbatasan dengan Sungai Musi, di sebelah barat berbatasan dengan Sungai Lambidaro (36 Ilir), dan di sebelah utara hingga sekitar Pasar Cinde.
Kuto Besak
Pada masa pemerintahan Sultan Muhamad Bahaudin (1776-1803), dibangun Keraton Kuto Besak. Letaknya di sebelah barat Keraton Kuto Tengkuruk. Kuto ini mempunyai ukuran panjang 288,75 meter, lebar 183,75 meter, tinggi 9,99 meter, dan tebal dinding 1,99 meter membujur arah barat-timur (hulu-hilir Musi). Di setiap sudutnya terdapat bastion. Bastion yang terletak di sudut baratlaut bentuknya berbeda dengan tiga bastion lain, sama seperti pada bastion yang sering ditemukan pada benteng-benteng lain di Indonesia. Justru ketiga bastion yang sama itu merupakan ciri khas bastion Benteng Kuto Besak. Di sisi timur, selatan, dan barat terdapat pintu masuk benteng. Pintu gerbang utama yang disebut lawang kuto terletak di sisi sebelah selatan menghadap ke Sungai Musi. Pintu masuk lainnya yang disebut lawang buratan jumlahnya ada dua, tetapi yang masih tersisa hanya sebuah di sisi barat. Perang Palembang 1821 dan dibubarkannya institusi Kesultanan pada 7 Oktober 1823, bangunan Kuto Tengkuruk diratakan dengan tanah. Di atas runtuhan Kuto Tengkuruk, atas perintah van Sevenhoven kemudian dibangun rumah Regeering Commissaris yang sekarang menjadi Museum Sultan Mahmud Badaruddin II.
Perang antara Kerajaan Palembang – VOC pada tahun 1659 di Kuto Gawang pada tahun 1659.
Hancurnya Kuto Gawang sebagai pertanda berakhirnya eksistensi Kerajaan Palembang dan berpengaruh terhadap pemindahan pusat pemerintahan dan pemukiman penduduk ke arah yang lebih ke hulu, yang terletak antara Sungai Rendang dan Sungai Tengkuruk. Daerah ini kemudian dikenal dengan nama Beringin Janggut. Setelah kehancuran Kerajaan Palembang, maka lahirlah Kesultanan Palembang Darussalam.
Pemindahan pusat Kerajaan Palembang Darussalam dari Kuto Gawang ke Beringin Janggut berpengaruh juga terhadap sistem pemerintahan yang kemudian menjadi Kesultanan Palembang Darussalam (Purwanti, 2004:20). Sebagai pemimpin yang pertama dari kesultanan ini adalah Ki Mas Hindi Pangeran Arya Kesumo yang kemudian ditabalkan oleh Badan Musyawarah Kepala-kepala Negeri Palembang dengan gelar Sultan Abdurrahman Kholifatul Mukminin Sayidul Iman (1659 - 1706 M), yang pada masa akhir hayatnya bergelar Sunan Cinde Walang (Badaruddin, 2008:19).
Pada masa pemerintahannya, Ki Mas Hindi atau Sultan Abdurrahman mencoba menjalin ikatan dengan Kesultanan Mataram Islam (Hanafiah, 1995:193). Akan tetapi, upaya tersebut mengalami kegagalan. Beberapa kali utusan dari Palembang ditolak menghadap Sultan Mataram. Penolakan itu membuat Sultan Abdurrahman berkeputusan untuk memutuskan hubungan dengan Mataram (Hanafiah, 1995:193-195). Keberanian Sultan Abdurrahman memutuskan hubungan dengan Kesultanan Mataram Islam karena ia mendapat dukungan Kesultanan Istanbul dari Dinasti Turki Usmani (Badaruddin, 2008:16).
Jika dilihat dari sejarahnya, terdapat ikatan yang kuat antara Jawa-Palembang. Seperti diketahui, anak tiri dari Arya Dillah, raja pertama Kerajaan Palembang, adalah Raden Patah (1478 – 1518 M), pendiri Kesultanan Demak. Setelah Demak runtuh, sisa-sisa kerajaan ini pindah ke Jawa bagian timur dan menjadi Kesultanan Pajang (1549 – 1587 M). Kesultanan Pajang pada akhirnya menjadi bagian dari Kesultanan Mataram Islam.
Kesultanan Palembang Darussalam di Era Kolonial
Setelah Sultan Abdurrahman wafat pada tahun 1706 M, tahta kekuasaan Kesultanan Palembang Darussalam diteruskan oleh putranya yang bergelar Sultan Muhammad Mansyur Jayo Ing Lago (1706 - 1714 M). Nama Jayo Ing Lago (Jaya di laga) diperoleh karena sebelum menjadi sultan, ia memenangkan peperangan di Jambi. Pada tahun 1714 M, Sultan Muhammad Mansyur Jayo Ing Lago meninggal dunia dan dimakamkan di Kebon Gede (Kelurahan 32 Ilir, Palembang) (Badaruddin, 2008:21).
Sepeninggal Sultan Muhammad Mansyur Jayo Ing Lago, terjadi perebutan tahta di Kesultanan Palembang Darussalam. Konflik bermula dari gugurnya Pangeran Purbaya yang seharusnya dinobatkan menjadi sultan. Tahta Kesultanan Palembang Darussalam kemudian dilimpahkan kepada Sultan Agung Komaruddin Sri Truno (1714 – 1724 M), adik dari almarhum Sultan Muhammad Mansyur Jayo Ing Lago. Para putra Sultan Muhammad Mansyur Jayo Ing Lago, yaitu Raden Lembu dan Pangeran Adipati Mangkubumi Alimuddin, menolak keputusan itu dan melakukan perlawanan.
Sultan Agung Komaruddin berinisiatif berdamai dengan kedua keponakannya itu dengan mengangkat Pangeran Adipati Mangkubumi Alimuddin sebagai Sultan Anom Alimudin dan Pangeran Jayo Wikramo sebagai Pangeran Ratu Jayo Wikramo. Dengan demikian, Kesultanan Palembang Darussalam memiliki 3 sultan pada masa yang sama, hanya saja dalam struktur pemerintahan, kedudukan Sultan Agung Komaruddin tetap paling tinggi.
Solusi tersebut ternyata tidak membuat Pangeran Adipati Mangkubumi Alimuddin puas, karena ia merasa Pangeran Ratu Jayo Wikramo lebih diuntungkan dengan mendapatkan istri dari putri Sultan Agung Komaruddin bernama Ratu Rangda. Hal ini mengakibatkan terjadinya konflik antar Sultan Anom Alimuddin dan Pangeran Ratu Jayo Wikramo. Pangeran Ratu Jayo Wikramo menang sehingga mengantarkan dirinya sebagai sultan dengan gelar Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo atau Sultan Badaruddin I (1724 – 1758 M) dan berhak menggantikan Sultan Agung Komaruddin sebagai pemimpin Kesultanan Palembang Darussalam (Badaruddin, 2008:26-27).
Sultan Badaruddin I adalah sosok pemimpin yang berwawasan luas dan agamis. Sultan pernah menulis kitab berjudul Tahqidul Yakin. Selain itu, Sultan Badaruddin I juga seorang petualang di mana ia pernah menyinggahi Makassar, Johor, Kelantan, Kedah, Siam, Timur Tengah, dan lain sebagainya (Badaruddin, 2008:27).
Sultan Badaruddin I menggagas pentingnya pembaharuan di lingkungan Kesultanan Palembang Darussalam dengan cara mengintrodusir pengetahuan dan perkembangan teknologi namun tanpa meninggalkan tradisi lama. Ia telah melakukan perubahan dan pembangunan ke arah yang lebih maju, misalnya dengan membangun Gubah Talang Kenanga (1728 M), Gubah Kawah Tekurep (1728 M), Keraton Kuto Lamo (1737 M), dan Masjid Agung Palembang (1738 M) (Badaruddin, 2008:27-28).
Masjid Agung Palembang
Sultan Badaruddin I wafat pada tanggal 3 Muharam 1171 H atau 17 September 1757 M dan penerusnya adalah Sultan Ahmad Najamuddin I (1758 – 1776 M). Pada masa pemerintahannya, Sultan Ahmad Najamuddin I membangun menara Masjid Agung Palembang pada tahun 1757 M dan membuat kontrak perdagangan dengan Belanda terutama untuk komoditi lada dan timah, serta memperbaharui kontrak perdagangan yang telah dibuat pada masa pemerintahan para sultan sebelumnya. Sultan Ahmad Najamuddin I wafat pada tanggal 6 Dzulqaidah 1190 H (1776 M) (Badaruddin, 2008:31-32).
Tahta Kesultanan Palembang Darussalam selanjutnya dipegang oleh Sultan Muhammad Bahauddin (1776 – 1804 M) yang membangun Istana Benteng Kuto Besak. Selain itu, bersama Aceh, Palembang Darussalam menjadi salah satu pusat sastra agama Islam di nusantara. Sultan Muhammad Bahauddin wafat pada tanggal 21 Dzulhijjah 1218 H atau 2 April 1804 M (Badaruddin, 2008:33-34).
Benteng Kuto Besak
Penggantinya adalah Raden Muhammad Hasan bergelar Paduka Sultan Mahmud Badaruddin Khalifatul Mukminin Sayidul Iman (Sultan Badaruddin II) (1804 – 1821). Sultan Badaruddin II dikenal sebagai ulama, Imam Besar Masjid Agung, ahli bela diri, dan penulis. Beberapa karyanya antara lain: Syair Nuri, Pantun Sipelipur Hati, Sejarah Raja Martalaya, dan Nasib Seorang Ksatria Signor Kastro (Badaruddin, 2008:35).
Sultan Badaruddin II dikenal sebagai tokoh pejuang melawan Inggris dan Belanda, seperti pada Peristiwa Loji Sungai Aur (1811-1812), Perang Palembang (1819-1821). Namun, akhirnya Kesultanan Palembang Darussalam mengalami kekalahan. Sebagai konsekuensi, pada tanggal 3 Juli 1821, Sultan Badaruddin II dan putra sulungnya, Sultan Ahmad Najamuddin III Pangeran Ratu, dibuang ke Ternate, Maluku Utara, hingga Sultan Badaruddin II wafat di sana pada tanggal 26 November 1852. Atas perjuangannya melawan penjajah, Sultan Badaruddin II mendapatkan anugerah sebagai Pahlawan Nasional dari pemerintah RI pada tahun 1984 (Badaruddin, 2008:36).
Paduka Sultan Mahmud Badaruddin Khalifatul Mukminin Sayidul Iman (Sultan Badaruddin II)
Pada masa pemerintahan Sultan Badaruddin II, dia mengangkat Pangeran Adimenggala Raden Muhammad Husin bergelar Sultan Ahmad Najamuddin II Husin Diauddin (1813 – 1821). Sultan Ahmad Najamuddin II Husin Diauddin merupakan adik dari Sultan Badaruddin II. Selain itu, diangkat pula putra sulungnya sebagai sultan bergelar Sultan Ahmad Najamuddin III Pangeran Ratu (1819 - 1821) (Badaruddin, 2008:7, 37, 39).
Sultan Ahmad Najamudin II Husin Dhiauddin (1813 - 1821) adalah adik dari Sultan Badaruddin II. Secara berselingan, mereka berdua bergantian dalam memimpin kesultanan. Hal itu terjadi karena Sultan Badaruddin II pernah hijrah ke Muara Rawas antara tahun 1813 hingga tahun 1818.
Selain itu, pada tahun 1818, Sultan Badaruddin II pernah dipecat oleh Inggris dan Belanda yang pernah menguasai wilayah Kesultanan Palembang. Pemecatan ini dijadikan alasan untuk mengangkat Sultan Ahmad Najamuddin III Pangeran Ratu pada 1819 (Badaruddin, 2008:39-40).
Sultan Ahmad Najamuddin III Pangeran Ratu (1819 - 1821) adalah putra sulung dari Sultan Badaruddin II yang dilantik pada tahun 1819. Sehingga pada masa pemerintahan Sultan Ahmad Najamuddin III Pangeran Ratu (antara tahun 1819-1821), terdapat tiga sultan yang memimpin secara bergantian dalam satu waktu, yaitu Sultan Badaruddin II (1804 – 1821), Sultan Ahmad Najamudin II Husin Dhiauddin (1813 - 1821), dan Sultan Ahmad Najamuddin III Pangeran Ratu (1819 - 1821).
Pelantikan Sultan Ahmad Najamuddin III Pangeran Ratu didasari atas pemecatan yang dilakukan Belanda dan Inggris terhadap Sultan Badaruddin II. Meskipun telah dipecat, tetapi secara adat Sultan Badaruddin II tetap dianggap sebagai pengampu kekuasaan tertinggi di Kesultanan Palembang Darussalam (Badaruddin, 2008:39-40).
Pada masa peperangan dengan Belanda, Sultan Ahmad Najamuddin III Pangeran Ratu menjabat sebagai komandan pertahanan Benteng Martapura di perairan Sungai Musi. Dia bahu membahu dengan sang ayah (Sultan Badaruddin II) untuk berperang melawan kaum kolonial. Akan tetapi perlawanan ayah-anak ini harus berakhir, karena pada tanggal 3 Juli 1821, Sultan Badaruddin II dan Sultan Ahmad Najamuddin III Pangeran Ratu, dibuang ke Ternate, Maluku Utara.
Sebelum diasingkan ke Ternate, Sultan Ahmad Najamuddin III Pangeran Ratu beserta keluarga dan para pengikut setianya, termasuk permaisuri, sejumlah anaknya, para ulama, dan panglima kesultanan, diasingkan ke Batavia terlebih dahulu. Tidak semua keluarga dan para pengikut setianya, termasuk selir dan sebagian anak-anaknya, dibawa ke pengasingan karena keterbatasan kapal (Badaruddin, 2008:39-40).
Pasca pembuangan Sultan Badaruddin II dan Sultan Ahmad Najamuddin III Pangeran Ratu, tampuk kepemimpinan diteruskan oleh Sultan Ahmad Najamudin II Husin Dhiauddin (1813 – 1821). Pada tahun 1821, Sultan Ahmad Najamudin II Husin Dhiauddin melantik puteranya yang bergelar Sultan Ahmad Najamuddin IV Prabu Anom (1821 – 1823) (Sultan Najamuddin II). Pada masa kepemimpinan Prabu Anom, Kesultanan Palembang Darussalam berada di bawah kontrol kekuasaan Belanda dan mulai masuk pula pengaruh dari Inggris (Badaruddin, 2008:41).
Akibat berbagai tekanan dari pihak Belanda dan Inggris yang menyudutkan posisi Kesultanan Palembang Darussalam, Sultan Ahmad Najamuddin IV Prabu Anom sering melakukan perlawanan. Perlawanan tidak hanya dilakukan di pusat pemerintahan, akan tetapi menyebar sampai ke daerah-daerah, hingga Belanda menjuluki Sultan Ahmad Najamuddin IV Prabu Anom dengan gelar Sultan Amuk. Akhirnya perlawanan yang dilakukan oleh Sultan Ahmad Najamuddin IV Prabu Anom terhenti karena ia ditangkap pada tahun 1823.
Setahun kemudian, pada tanggal 6 Desember 1824, Sultan Ahmad Najamudin II Husin Dhiauddin yang merupakan ayah dari Sultan Ahmad Najamuddin IV Prabu Anom, diasingkan ke Batavia dan wafat di sana pada tanggal 22 Februari 1825 (Badaruddin, 2008:38). Di sisi lain, Sultan Ahmad Najamuddin IV Prabu Anom akhirnya juga diasingkan pada tahun 1825 ke Banda kemudian ke Menado. Pada tahun 1844, Sultan Ahmad Najamuddin IV Prabu Anom wafat di Manado (Purwanti, 2004:20). Terhitung sejak tertangkapnya Sultan Ahmad Najamuddin IV Prabu Anom selaku sultan terakhir di Kesultanan Palembang Darussalam pada tahun 1823, maka secara resmi Kesultanan Palembang Darussalam telah dihapuskan oleh Belanda (Purwanti, 2004:21).
Upaya Membangkitkan Kesultanan Palembang Darussalam
Kebesaran Kesultanan Palembang Darussalam pada masa silam membuat beberapa pihak berupaya untuk membangkitkannya kembali. Kenangan indah yang mengendap selama 157 tahun (1666 - 1823), diusahakan dibangun kembali dengan kemunculan dua tokoh yang merasa sebagai pewaris tahta Kesultanan Palembang Darussalam, yaitu Drs. Raden H. Muhammad Sjafei Prabu Diradja, S.H dan Ir. H. Raden Mahmud Badaruddin.
Drs. Raden H. Muhammad Sjafei Prabu Diradja, S.H. bin Raden H. Abdul Hamid Prabudiradja IV adalah seorang perwira polisi yang bertugas di Kepolisian Daerah Sumatra Selatan. Pada tanggal 3 Maret 2003, bertempat di Masjid Lawang Kidul, Majelis Musyawarah Adat Kesultanan Palembang Darussalam menobatkan Drs. Raden H. Muhammad Sjafei Prabu Diradja, S.H. sebagai Sultan di Kesultanan Palembang Darussalam dengan gelar Sultan Mahmud Badaruddin Prabudiradja (Sultan Mahmud Badaruddin III) (Kemas Ari, 2006, dalam www.kesultanan-palembang-darussalam.com).
Ada dua alasan yang mendasari pengangkatan Drs. Raden H. Muhammad Sjafei Prabu Diradja, S.H. Pertama, berdasarkan wawancara dengan harian Sumatera Ekspres, pada tanggal 11 Maret 2003, dengan judul “Saya Menerima Wangsit”, Drs. Raden H. Muhammad Sjafei Prabu Diradja, S.H mengaku menjadi Sultan Mahmud Badaruddin III karena menerima wangsit (Taufik Wijaya, 2008 dalam www.detiknews.com).
Kedua, menurut silsilah Kesultanan Palembang Darussalam, Drs. Raden H. Muhammad Sjafei Prabu Diradja, S.H. merupakan keturunan ke-11 dari Sultan Abdurrahman. Sehingga jika dirunut secara garis keturunan, dia adalah putera dari Raden H. Abdul Hamid Prabu Diratdjah IV, bin R.H. Sjarif Prabu Diratdjah III, bin R. H. Abdul Habib Prabu Diratdjah II, bin Pangeran Prabu Diratdjah Haji Abdullah, bin Sultan Mahmud Badaruddin Khalifatul Mukminin Sayidul Iman (Sultan Badaruddin II), bin Sultan Muhammad Bahauddin, bin Sultan Ahmad Najamuddin I, bin Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo (Sultan Badaruddin I), bin Sultan Muhammad Mansyur Jayo Ing Lago, bin Sultan Abdurrahman Kholifatul Mukminin Sayidul Iman (Kemas Ari, 2006, dalam www.kesultanan-palembang-darussalam.com).
Tokoh kedua yaitu Ir. H Raden Mahmud Badaruddin, adalah Ketua Umum Himpunan Zuriat Kesultanan Palembang Darussalam yang dilantik pada tanggal 4 September 2005 di halaman Benteng Kuto Besak. Pada tanggal 18 November 2006, para zuriat (keturunan) sepuluh sultan yang pernah berkuasa di Palembang beserta zuriat Melayu di Sumatra Selatan melakukan musyawarah yang akhirnya mengukuhkan Ir. H Raden Mahmud Badaruddin sebagai Sultan Palembang Darussalam dengan gelar Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin. Pelantikan dia dilakukan pada tanggal 19 Desember 2006 di halaman Dalam Benteng Kuto Besak (Badaruddin, 2008:43).
Alasan penobatan Ir. H Raden Mahmud Badaruddin sebagai Sultan Palembang Darussalam didasari atas silsilah Sultan Palembang Darussalam. Raden Iskandar Mahmud Badaruddin merupakan keturunan dari dua sultan yang pernah berkuasa di Kesultanan Palembang Darussalam, yaitu Sultan Muhammad Mansyur Jayo Ing Lago dan Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo (Badaruddin, 2008:43-44).
Silsilah
Penulisan silsilah Kesultanan Palembang Darussalam berikut ini merupakan rangkuman dari beberapa sumber, yaitu: Djohan Hanafiah. 1995. Melayu-Jawa: Citra Budaya dan Sejarah Palembang. Jakarta: PT Raja Grafido Persada; Retno Purwanti. 2004. “Situs Bersejarah di Palembang”, dalam Achadiati Ikram (ed.). Jatidiri yang Terlupakan: Naskah-Naskah Palembang. Jakarta: Yayasan Naskah Nusantara; dan Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin. 2008. Sejarah Kesultanan Palembang Darussalam. Palembang: Kraton Kesultanan Pelambang Darussalam.
Silsilah para pemimpin Kesultanan Palembang Darussalam sebagai berikut:
- Sultan Abdurrahman Kholifatul Mukminin Sayidul Iman (1659 – 1706 M)
- Sultan Muhammad Mansyur Jayo Ing Lago (1706 – 1714 M)
- Sultan Agung Komaruddin Sri Truno (1714 – 1724 M)
- Sultan Anom Alimudin (Meskipun menjadi sultan tetapi tidak memerintah)
- Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo (Sultan Badaruddin I) (1724 – 1758 M)
- Sultan Ahmad Najamuddin I (1758 – 1776 M).
- Sultan Muhammad Bahauddin (1776 – 1804 M)
- Paduka Sultan Mahmud Badaruddin Khalifatul Mukminin Sayidul Iman (Sultan Badaruddin II)(1804 – 1821)
- Sultan Ahmad Najamuddin II Husin Diauddin (1813 – 1817)
- Sultan Ahmad Najamuddin III Pangeran Ratu (1819 – 1821)
- Sultan Ahmad Najamuddin IV Prabu Anom (1821 – 1823)
- Sultan Mahmud Badaruddin Prabudiradja (Sultan Mahmud Badaruddin III)(2003 – sekarang)
- Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin (2006 – sekarang)
Sistem Pemerintahan
Menurut Hanafiah (1995), selama memerintah, Sultan Abdurrahman telah meletakkan tata kehidupan sosial, ekonomi, dan politik yang kuat. Dalam bidang pemerintahan, ia menerapkan sistem perwakilan di daerah pedalaman atau dikenal dengan istilah raban dan jenang. Undang-undang dan peraturan-peraturan yang dibuatnya dituangkan dalam bentuk piagem (piagam), yang harus dilaksanakan oleh setiap daerah yang masuk dalam pengaruh kekuasaan Palembang, seperti Bangka, Belitung, sebagian Jambi (Muara Tembesi), Bengkulu (Kepahiang/Rejang), dan Lampung (Tulang Bawang/Mesuji) (Hanafiah, 1995:197-200).
Dalam bidang pertanian, Sultan Abdurrahman mewajibkan bagi daerah-daerah tertentu untuk mengembangkan tanaman lada. Ia juga membuat sistem perairan yang dibuat antara Ogan, Komering, dan Mesuji, yang tidak saja digunakan untuk pertanian, namun juga untuk kepentingan pertahanan (Hanafiah, 1995:197-200).
Dalam mengatur pemerintahan, para penguasa di Kesultanan Palembang Darussalam memilih sikap kompromistis terhadap penduduk setempat. Salah satu sikap kompromistis penguasa dilakukan dengan jalan lembaga perkawinan (Hanafiah, 1995:169). Sebagai contoh, Sultan Abdurrahman pernah melangsungkan perkawinan dengan puteri penguasa Bangka. Imbas dari perkawinan tersebut, Sultan Abdurrahman mendapatkan warisan kepulauan Bangka yang kemudian masuk ke dalam wilayah kekuasaan Kesultanan Palembang Darussalam (Hanafiah, 1995:169).
Selain menggunakan lembaga perkawinan, penguasa di Kesultanan Palembang Darussalam juga menunjukkan sikap untuk lebih menghormati adat setempat yang berlaku di masing-masing komunitas adat. Kehidupan hukum masyarakat yang ada di bawah kekuasaan sultan biasanya berjalan sesuai dengan tradisi masing-masing. Tetapi kadang-kadang mereka terdesak sampai musnah. Di lain, tempat konstruksi hukumnya mengalami perubahan hak ulayat kepala-kepala (rakyat yang telah turun-temurun misalnya, tetap berlaku seperti sediakala, tetapi selanjutnya disebut-sebut seolah-olah didasarkan atas satu karunia daripada seorang sultan (B.J.O Schrieke, 1974 dalam Hanafiah:169-170)
Sikap kompromis Kesultanan Palembang dapat dibuktikan ketika Undang-Undang Simbur Cahaya dibuat untuk dijadikan pedoman terhadap kekuasaan yang berlaku di daerah. Undang-Undang Simbur Cahaya merupakan suatu pedoman yang mengatur adat pergaulan bujang gadis, adat perkawinan, piagam, dan lain sebagainya. Undang-undang ini disusun oleh Pangeran Sedo Ing Kenayan Jamaluddin Mangkurat IV (1639 – 1650 M) bersama sang istri, Ratu Senuhun, ketika Kesultanan Palembang Darussalam masih berbentuk Kerajaan Palembang (Badaruddin, 2008:9). Undang-Undang Simbur Cahaya masih dijadikan pedoman meskipun bentuk kerajaan telah beralih ke bentuk kesultanan.
Menurut J.W. van Royen, para sultan tidak melakukan apapun selain mengukuhkan (vastleggen) hukum adat yang berlaku di daerah-daerah (J.W. van Royen, 1927:40 dalam Hanafiah, 1995:170). Sikap penguasa Palembang secara jelas digambarkan oleh P. dee Roo de Faille (1971:40 dan 57),
“Orang Pasemah bukan semata-mata orang bawahan, mereka lebih merupakan kawan-kawan seperjuangan dari Sultan yang dilindunginya, meskipun mereka … telah menerima penjagaan batas (sindang) sebagai tugas dan mengikat diri untuk mentaati beberapa peraturan yang menunjuk pengakuan daripada kekuasaan” (P. dee Roo de Faille, 1971 dalam Hanafiah, 1995:170).
Secara stuktural, sultan menempatkan diri sebagai penguasa tertinggi. Kedudukan sultan bermakna dua, sebagai pemimpin wilayah sekaligus sebagai pelindung agama Islam. Pemerintahan tersusun dengan adanya pembagian menurut wilayah dan hukum, yaitu ibukota kesultanan yang berupa istana dan mancanegara yang berupa lingkungan di luar wilayah ibukota kesultanan (daerah-daerah). Pembagian wilayah mancanegara tidak didasarkan atas pertimbangan teritorial, namun lebih disebabkan karena faktor kegunaan atau manfaat wilayah tersebut. Atas dasar itulah, maka muncul wilayah-wilayah sebagaimana berikut:
1. Sindang
Sindang adalah sebutan untuk suatu daerah yang berada di perbatasan wilayah kesultanan. Penduduk di daerah sindang memperoleh status mardika (merdeka atau bebas). Tugas utama penduduk daerah perbatasan adalah menjaga perbatasan (Hanafiah, 1995:171).
2. Kepungutan
Kepungutan merupakan sebutan bagi daerah yang langsung berada dalam pengawasan kekuasaaan sultan. Kepungutan merupakan daerah bebas pajak tetapi mempunyai kewajiban lain yang disebut tiban atau tukon. Tiban adalah kewajiban bagi penduduk di daerah kepungutan untuk memproduksi komoditi ekspor seperti lada atau menambang timah. Komoditi ini menjadi hak (monopoli) Kesultanan Palembang Darussalam dalam pemasarannya. Sedangkan tukon dalam pelaksanaanya tidak jauh berbeda dengan tiban. Hanya saja dalam tukon dipergunakan uang sebagai alat pembayaran (Hanafiah, 1995:171).
3. Sikap
Sikap merupakan suatu wilayah yang dibentuk dengan alasan untuk memenuhi kebutuhan perekonomian di Istana Kesultanan Palembang Darussalam. Pada umumnya daerah sikap terikat dengan kewajiban seperti menyediakan tenaga pengangkut hasil produksi istana dan menyiapkan keperluan-keperluan istana (Hanafiah, 1995:171). Daerah sikap secara khusus menjadi tanggungjawab golongan priyayi yang disebut dengan jenang (pemimpin suatu wilayah di luar ibukota kesultanan). Hanya saja, kekuasaannya sebatas masa jabatannya saja. Sebagai golongan rakyat, pihak petani bisa diperkenankan untuk membuka tanah (sikap), namun harus membayar pajak atas tanah dan hasil pertanian. Meskipun demikian, baik golongan priyayi maupun rakyat petani, mereka sama-sama tidak berhak mewariskan jabatan dan tanahnya.
Hubungan Dengan Kerajaan Lain
Hubungan Palembang dengan Demak
Raja Kerajaan Demak Raden Fatah wafat tahun 1518 dan digantikan puteranya Pati-Unus atau Pangeran Sabrang Lor yang wafat tahun 1521, kemudian digantikan saudara Pati-Unus yaitu Pangeran Trenggono yang wafat pada tahun 1546 (makam-makam mereka ada di halaman Mesjid Demak). Setelah Pangeran Trenggono wafat terjadi perebutan kekuasaan antara saudaranya (Pangeran Seda ing Lepen) dan anaknya (Pangeran Prawata). Pangeran Seda ing Lepen akhirnya dibunuh oleh Pangeran Prawata. Kemudian Pangeran Prawata beserta keluarganya dibunuh pada tahun 1549 oleh anak Pangeran Seda ing Lepen yang bernama Arya Penangsang atau Arya Jipang. Demikian juga menantu Raden Trenggono yang bernama Pangeran Kalinyamat dari Jepara juga dibunuh. Arya Penangsang sendiri dibunuh oleh Adiwijaya juga seorang menantu Pangeran Trenggono atau terkenal dengan sebutan Jaka Tingkir yang menjabat Adipati penguasa Pajang. Akhirnya Keraton Demak dipindah oleh Jaka Tingkir ke Pajang dan habislah riwayat Kerajaan Demak. Kerajaan Demak hanya berumur 65 tahun yaitu dari tahun 1481 sampai 1546.
Dalam kemelut yang terjadi atas penyerangan Demak oleh Pajang ini, berpindahlah 24 orang keturunan Pangeran Trenggono (atau Keturunan Raden Fatah) dari kerajaan Demak ke Palembang, dipimpin oleh Ki Gede Sedo ing Lautan yang datang melalui Surabaya ke Palembang dan membuat kekuatan baru dengan mendirikan Kerajaan Palembang, yang kemudian menurunkan raja-raja, atau sultan-sultan Palembang. Keraton pertamanya di Kuto Gawang, pada saat ini situsnya tepat berada di kompleks PT. Pusri, Palembang. Dari bentuk keraton Jawa di tepi sungai Musi, para penguasanya beradaptasi dengan lingkungan melayu di sekitarnya. Terjadilah suatu akulturasi dan asimilasi kebudayaan jawa dan melayu, yang dikenal sebagai kebudayaan Palembang.
Hubungan Palembang dengan Mataram
Pindahnya pusat kerajaan Jawa dari Demak ke Pajang menimbulkan pergolakan baru setelah wafatnya Jaka Tingkir. Pajang yang diperintah Arya Pangiri diserang oleh gabungan dua kekuatan, dari Pangeran Benowo (putra Jaka Tingkir yang tersingkir) dan kekuatan Mataram (dipimpin Panembahan Senapati atau Senapati Mataram, putra Kyai Ageng Pemanahan atau Kyai Gede Mataram). Akhirnya Arya Pangiri menyerah kepada Senapati Mataram dan Kraton Pajang dipindahkan ke Mataram (1587) dan mulailah sejarah Kerajaan Jawa Mataram. Senapati Mataram sendiri merupakan keturunan Raden Fatah dan Raden Trenggono yang masih meneruskan dinastinya di Jawa, sehingga dapat dipahami eratnya pertalian antara Palembang dan Mataram pada masa itu, yang terus berlanjut hingga masa pemerintahan Raja Amangkurat I (silsilah raja yang keempat). Sampai akhir 1677 Palembang masih setia kepada Mataram yang dianggap sebagai pelindungnya, terutama dari serangan kerajaan Banten. Sultan Muhammad (1580 – 1596) dari Kesultanan Banten pada tahun 1596 pernah menyerbu Palembang (diperintah Pangeran Madi Angsoko) dengan membawa 990 armada perahu, yang berakhir dengan kekalahan Banten dan wafatnya Sultan Muhammad. Penyerbuan ini dilakukan atas anjuran Pangeran Mas, putra Arya Pangiri dari Demak.
Tetapi tidak lama kemudian terdapat golongan yang ingin memisahkan diri dari ikatan dengan Jawa khususnya generasi mudanya. Sementara itu kekuasaan raja-raja Mataram juga berangsur berkurang karena makin bertambahnya ikut campur kekuasaan VOC Belanda di Mataram, sehingga dengan demikian kekuasaan dan hubungan dengan daerah-daerah seberang termasuk Palembang juga merenggang.
Hubungan Palembang dengan VOC
Palembang yang semula merupakan bagian dari kekuasaan Mataram mulai mengadakan hubungan dengan VOC, dengan demikian timbul kecurigaan dari penguasa Mataram dan dampaknya adalah makin renggangnya hubungan Palembang dengan Mataram. Kontak pertama Palembang dengan VOC pada tahun 1610. Pada awalnya VOC tidak banyak berhubungan dengan penguasa Palembang, selain saingan dari Inggris dan Portugis serta Tiongkok, juga sikap penguasa Palembang yang tidak memberikan kesempatan banyak kepada VOC. VOC menganggap penguasa Palembang terlalu sombong; dan menurut VOC hanya dengan kekerasan senjatalah kesombongan Palembang dapat dikurangi, sebaliknya Palembang tidak mudah digertak begitu saja.
Semasa pemerintahan Pangeran Sideng Kenayan yang didampingi istrinya Ratu Sinuhun di Palembang dan Gubernur Jendral di Batavia Jacob Specx (1629-1632) telah dibuka Kantor perwakilan Dagang VOC (Factorij) di Palembang. Kontrak ditanda tangani tahun 1642, tetapi pelaksanaanya baru pada tahun 1662. Anthonij Boeij sejak tahun 1655 ditunjuk sebagai wakil pedagang VOC di Palembang dan sementara tetap tinggal di kapal karena belum punya tempat (loji) di darat. VOC sendiri telah sejak tahun 1619 ingin mendirikan loji (kantor) dan gudang di Palembang. Pembangunan loji dari batu mengalami kesulitan karena pada saat yang sama didirikan bangunan-bangunan antara lain kraton di Beringin Janggut, Masjid Agung dan lain lainnya. Mula-mula loji didirikan di atas rakit, kemudian bangunan dari kayu yang letaknya di 10 Ulu sekarang diatas sebuah pulau yang dikelilingi sungai Musi, sungai Aur, sungai Lumpur serta sambungan dari sungai Tembok. Bangunan permanen dari batu baru dibuat pada tahun 1742. Tindak-tanduk mereka ini tidak menyenangkan orang Palembang karena antara lain ia menyita sebuah jung Tiongkok bermuatan lada.
Kemudian VOC menggantikannya dengan Cornelis Ockerz (dijuluki — si Kapitein Panjang) yang tadinya dicadangkan untuk jadi perwakilan di Jambi. Ockerz datang dua kali di bulan Juni 1658 ke Palembang yang terakhir ia menahan beberapa kapal diantaranya milik putra mahkota Mataram. Terjadi bentrokan yang kemudian dapat didamaikan. Pada tanggal 22 Agustus 1658 beberapa bangsawan Palembang (a.l. Putri Ratu Emas, Tumenggung Bagus Kuning Pangkulu, Pangeran Mangkubumi Nembing Kapal, Kiai Demang Kecek) naik ke atas kapal yacht Belanda, yang bernama Jacatra dan de Wachter, dan membunuh Ockerz beserta 42 orang Belanda lainnya serta menawan 28 orang Belanda. Peristiwa ini disebabkan karena kecurangan-kecurangan serta kelicikan orang-orang Belanda termasuk Ockerz. Kemudian untuk membalas tindakan orang Palembang ini Belanda mengirimkan armadanya yang dipimpin Laksamana Johan Van der Laen dan pada tanggal 24 November 1659 membakar habis kota dan istana Sultan di Kota Gawang (1 llir). Pangeran Mangkurat Seda ing Rajek akhirnya menyingkir ke Indralaya (makamnya di Saka Tiga).
Dari wilayah Sumatra Selatan, wilayah kekuasaan Kesultanan Palembang Darussalam meluas ke beberapa daerah seperti Bangka, Belitung, sebagian Jambi (Muara Tembesi), Bengkulu (Kepahiang/Rejang), dan Lampung (Tulang Bawang/Mesuji). Perluasan wilayah ini sebagian besar terjadi ketika Kesultanan Palembang Darussalam berada di bawah pemerintahan Sultan Abdurrahman (Hanafiah, 1995:197-200).
Ekonomi
Kesultanan Palembang berada kawasan yang strategis dalam melakukan hubungan dagang terutama hasil rempah-rempah dengan pihak luar. Kesultanan Palembang juga berkuasa atas wilayah kepulauan Bangka Belitung yang memiliki tambang timah dan telah diperdagangankan sejak abad ke-18.[1]
Peperangan
Pada tahun 1811, Sultan Mahmud Badaruddin II menyerang pos tentara Belanda yang berada di Palembang, namun ia menolak bekerja sama dengan Inggris, sehingga Thomas Stamford Bingley Raffles mengirimkan pasukan menyerang Palembang dan Sultan Mahmud Badaruddin II terpaksa melarikan diri dari istana kerajaan, kemudian Raffles mengangkat Sultan Ahmad Najamuddin II adik Sultan Mahmud Badaruddin II sebagai raja. Pada tahun 1813 Sultan Mahmud Badaruddin II kembali mengambil alih kerajaan namun satu bulan berikutnya diturunkan kembali oleh Raffles dan mengangkat kembali Sultan Ahmad Najamuddin II, sehingga menyebabkan perpecahan keluarga dalam kesultanan Palembang.[2]
Pada tahun 1818 Belanda menuntut balas atas kekalahan mereka sebelumnya dan menyerang Palembang serta berhasil menangkap Sultan Ahmad Najamuddin II dan mengasingkannya ke Batavia. Namun Kesultanan Palembang kembali bangkit melakukan perlawanan yang kemudian kembali dipimpin oleh Sultan Mahmud Badaruddin II. Lalu pada tahun 1819, Sultan mendapat serangan dari pasukan Hindia yang antara lain dikenal sebagai Perang Menteng (diambil dari kata Mungtinghe). Pada tahun 1821 dengan kekuatan pasukan lebih dari 4000 tentara, Belanda kembali menyerang Palembang dan berhasil menangkap Sultan Mahmud Badaruddin II yang kemudian diasingkan ke Ternate.[2] Kemudian pada tahun 1821 tampil Sultan Ahmad Najamuddin III anak Sultan Ahmad Najamuddin II sebagai raja berikutnya, namun pada tahun 1823 Belanda menjadikan kesultanan Palembang berada dibawah pengawasannya, sehingga kembali menimbulkan ketidakpuasan di kalangan istana. Puncaknya pada tahun 1824 kembali pecah perang, namun dapat dengan mudah dipatahkan oleh Belanda, pada tahun 1825 Sultan Ahmad Najamuddin III menyerah kemudian diasingkan ke Banda Neira.[2]
Daftar Pustaka
- B.J.O. Schrieke. 1974. Penguasa-Penguasa Pribumi, Jakarta: Bharata dalam Djohan Hanafiah. 1995. Melayu-Jawa: Citra Budaya dan Sejarah Palembang. Jakarta: PT Raja Grafido Persada.
- Djohan Hanafiah. 1995. Melayu-Jawa: Citra Budaya dan Sejarah Palembang. Jakarta: PT Raja Grafido Persada.
- J.W. van Royen. 1927. De Palembangsche Marga en Haar Grond-en Waterrechten. Leiden : GL van den Berg dalam Djohan Hanafiah. 1995. Melayu-Jawa: Citra Budaya dan Sejarah Palembang. Jakarta: PT Raja Grafido Persada.
- Kemas Ari, 2006, “Sultan Di Mata Taufik Wijaya”, diunduh dari kesultanan-palembang-darussalam.com. pada 15 Desember 2009.
- Kms H Andi Syarifuddin. 2008. “Mengenal Adat Istiadat Palembang”, diunduh dari http://dodinp.multiply.com, pada 14 Desember 2009.
- L. Mardiwarsito. 1986. Kamus Jawa Kuno – Indonesia. Endeh: Nusa Indah dalam Retno Purwanti. 2004. “Situs Bersejarah di Palembang”, dalam Achadiati Ikram (ed.). Jatidiri yang Terlupakan: Naskah-Naskah Palembang. Jakarta: Yayasan Naskah Nusantara.
- Marwati Djoenoed Poesponegoro & Nugroho Notosusanto. 1993. Sejarah Nasional Indonesia II. Cetakan ke-4. Jakarta: Balai Pustaka.
- P. dee Roo Faille. 1971. Dari Zaman Kesultanan Palembang. Jakarta: Bharata dalam Djohan Hanafiah. 1995. Melayu-Jawa: Citra Budaya dan Sejarah Palembang. Jakarta: PT Raja Grafido Persada.
- Raden Patah, diunduh dari http://id.wikipedia.org, pada 15 Desember 2009.
- Retno Purwanti. 2004. “Situs Bersejarah di Palembang”, dalam Achadiati Ikram (ed.). Jatidiri yang Terlupakan: Naskah-Naskah Palembang. Jakarta: Yayasan Naskah Nusantara.
- “Sejarah Kota Palembang”. 2008, diunduh dari unitkerja.palembang.go.id., pada 14 Desember 2009
- Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin. 2008. Sejarah Kesultanan Palembang Darussalam. Palembang: Kraton Kesultanan Pelambang Darussalam.
- Taufik Wijaya. 2008. “Polemik Sultan Palembang”, diunduh dari dodinp.multiply.com, pada 12 Desember 2009).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar