Kesultanan Siak Sri Inderapura adalah sebuah Kerajaan Melayu Islam yang pernah berdiri di Kabupaten Siak, Provinsi Riau, Indonesia. Kerajaan ini didirikan di Buantan oleh Raja Kecil, Pewaris Tahta Kerajaan Johor yang mengasingkan diri ke Pagaruyung[2] Raja Kecil berdasarkan Hikayat Siak, merupakan Putra Sultan Mahmud Syah, Raja Kerajaan Johor yang dibunuh. Dalam perkembangannya, Kesultanan Siak muncul sebagai sebuah kerajaan bahari yang kuat[3] dan menjadi kekuatan yang diperhitungkan di pesisir timur Sumatera dan Semenanjung Malaya di tengah tekanan imperialisme Eropa. Jangkauan terjauh pengaruh kerajaan ini sampai ke Sambas di Kalimantan Barat, sekaligus mengendalikan jalur pelayaran antara Sumatera dan Kalimantan.[2][4][5] Pasang surut kerajaan ini tidak lepas dari persaingan dalam memperebutkan penguasaan jalur perdagangan di Selat Malaka. Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Sultan Siak terakhir, Sultan Syarif Kasim II menyatakan kerajaannya bergabung dengan Republik Indonesia.[6]
Etimologi
Kata Siak Sri Inderapura, secara harfiah dapat bermakna pusat kota raja yang taat beragama, dalam bahasa Sanskerta, sri berarti "bercahaya" dan indera atau indra dapat bermakna raja. Sedangkan pura dapat bermaksud dengan "kota" atau "kerajaan". Siak dalam anggapan masyarakat Melayu sangat bertali erat dengan agama Islam, Orang Siak ialah orang-orang yang ahli agama Islam, kalau seseorang hidupnya tekun beragama dapat dikatakan sebagai Orang Siak.[7][8]
Nama Siak, dapat merujuk kepada sebuah klan di kawasan antara Pakistan dan India, Sihag atau Asiagh yang bermaksud pedang. Masyarakat ini dikaitkan dengan bangsa Asii,[9] masyarakat nomaden yang disebut oleh masyarakat Romawi, dan diidentifikasikan sebagai Sakai oleh Strabo seorang penulis geografi dari Yunani.[10] Berkaitan dengan ini pada sehiliran Sungai Siak sampai hari ini masih dijumpai masyarakat terasing yang dinamakan sebagai Orang Sakai.[11]
Agama
Pada masa awal Kesultanan Melayu Melaka, Riau menjadi tempat pusat agama islam. Setelah itu perkembangan agama Islam di Siak menjadikan kawasan ini sebagai salah satu pusat penyebaran dakwah Islam, hal ini tidak lepas dari penggunaan nama Siak secara luas di kawasan Melayu. Jika dikaitkan dengan pepatah Minangkabau yang terkenal: Adat menurun, syara’ mendaki dapat bermakna masuknya Islam atau mengislamkan dataran tinggi pedalaman Minangkabau dari Siak sehingga orang-orang yang ahli dalam agama Islam, sejak dahulu sampai sekarang, masih tetap disebut dengan Orang Siak.[8]Sementara di Semenanjung Malaya, penyebutan Siak masih digunakan sebagai nama jabatan yang berkaitan dengan urusan agama Islam.[12][13]
Walau telah menerapkan hukum Islam pada masyarakatnya, namun sedikit pengaruh Minangkabau masih mewarnai tradisi masyarakat Siak. Dalam pembagian warisan, masyarakat Siak mengikut kepada hukum waris sebagaimana berlaku dalam Islam. Namun dalam hal tertentu, mereka menyepakati secara adat bahwa untuk warisan dalam bentuk rumah hanya diserahkan kepada anak perempuan saja.[14]
Masa awal
Membandingkan dengan catatan Tomé Pires yang ditulis antara tahun 1513-1515, Siak merupakan kawasan yang berada antara Arcat dan Indragiri yang disebutnya sebagai kawasan pelabuhan raja Minangkabau,[15] kemudian menjadi vasal Malaka sebelum ditaklukan oleh Portugal. Sejak jatuhnya Malaka ke tangan VOC, Kesultanan Johor telah mengklaim Siak sebagai bagian dari wilayah kedaulatannya. Hal ini berlangsung hingga kedatangan Raja Kecil yang kemudian mendirikan Kesultanan Siak.[2]
Dalam Syair Perang Siak, Raja Kecil didaulat menjadi penguasa Siak atas mufakat masyarakat di Bengkalis. Hal ini bertujuan untuk melepaskan Siak dari pengaruh Kesultanan Johor.[5] Sementara dalam Hikayat Siak, Raja Kecil disebut juga dengan sang pengelana pewaris Sultan Johor yang kalah dalam perebutan kekuasaan.[16] Berdasarkan korespondensi Sultan IndermasyahYang Dipertuan Pagaruyung dengan Gubernur Jenderal Belanda di Melaka waktu itu, menyebutkan bahwa Sultan Abdul Jalil merupakan saudaranya yang diutus untuk urusan dagang dengan pihak VOC.[17] Kemudian Sultan Abdul Jalil dalam suratnya tersendiri yang ditujukan kepada pihak Belanda, menyebut dirinya sebagai Raja Kecil dari Pagaruyung, akan menuntut balas atas kematian Sultan Johor.[18]
Sebelumnya dari catatan Belanda, dikatakan bahwa pada tahun 1674 telah datang utusan dari Johor meminta bantuan raja Minangkabau untuk berperang melawan raja Jambi.[19] Dalam salah satu versi Sulalatus Salatin, juga menceritakan tentang bagaimana hebatnya serangan Jambi ke Johor (1673),[20] yang mengakibatkan hancurnya pusat pemerintahan Johor, yang sebelumnya juga telah dihancurkan oleh Portugal dan Aceh.[21][22] Kemudian berdasarkan surat dari raja Jambi, Sultan Ingalaga kepada VOC pada tahun 1694, menyebutkan bahwa Sultan Abdul Jalil hadir menjadi saksi perdamaian dari perselisihan mereka.[23]
Pada tahun 1718, Sultan Abdul Jalil berhasil menguasai Kesultanan Johor[2]sekaligus mengukuhkan dirinya sebagai Sultan Johor dengan gelar Yang Dipertuan Besar Johor. Namun pada tahun 1722, terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh Raja Sulaiman anak Bendahara Johor, yang juga menuntut hak atas tahta Johor. Atas bantuan pasukan bayaran dari Bugis, Raja Sulaiman kemudian berhasil mengkudeta tahta Johor, dan mengukuhkan dirinya menjadi penguasa Johor di Semenanjung Malaysia. Sementara Sultan Abdul Jalil, pindah ke Bintan dan pada tahun 1723 membangun pusat pemerintahan baru di sehiliran Sungai Siak dengan nama Siak Sri Inderapura.[5] Sementara pusat pemerintahan Johor yang sebelumnya berada sekitar muara Sungai Johor ditinggalkan begitu saja, dan menjadi status quo dari masing-masing penguasa yang bertikai tersebut. Sedangkan klaim Raja Kecil sebagai pewaris sah tahta Johor, diakui oleh komunitas Orang Laut. Orang Laut merupakan kelompok masyarakat yang bermukim pada kawasan Kepulauan Riau yang membentang dari timur Sumatera sampai ke Laut Cina Selatan, dan loyalitas ini terus bertahan hingga runtuhnya Kesultanan Siak.[24]
Masa keemasan
Dengan klaim sebagai pewaris Malaka,[4] pada tahun 1724-1726 Sultan Abdul Jalil melakukan perluasan wilayah, dimulai dengan memasukan Rokan ke dalam wilayah Kesultanan Siak dan kemudian membangun pertahanan armada laut di Bintan. Namun pada tahun 1728, atas perintah Raja Sulaiman, Yang Dipertuan Muda bersama pasukan Bugisnya, Raja Kecil diusir keluar dari Kepulauan Riau. Raja Sulaiman kemudian menjadikan Bintan sebagai pusat pemerintahannya. Atas keberhasilannya itu, Yang Dipertuan Muda diberi kedudukan di Pulau Penyengat.[24]
Sementara Raja Kecil terpaksa melepas hegemoninya di Kepulauan Riau dan mulai membangun kekuatan baru di kawasan sepanjang pesisir timur Sumatera. Antara tahun 1740-1745, Raja Kecil kembali bangkit dan menaklukan beberapa kawasan di Semenanjung Malaya.[25] Karena mendapat ancaman dari Siak, dan disaat yang bersamaan orang-orang Bugis juga meminta balas atas jasa mereka, maka Raja Sulaiman meminta bantuan kepada Belanda di Malaka. Dalam perjanjian yang ditandatangani pada tahun 1746 itu, Johor menjanjikan akan memberikan Bengkalis kepada Belanda. Perjanjian itu kemudian direspon oleh VOC dengan mendirikan gudang pada kawasan tersebut.[26][27]
Sepeninggal Raja Kecil pada tahun 1746, klaim atas Johor memudar. Dan pengantinya Sultan Mahmud berfokus kepada penguatan kedudukannya di pesisir timur Sumatera dan daerah vassal di Kedah dan kawasan pantai timur Semenanjung Malaya. Pada tahun 1761, Sultan Siak membuat perjanjian ekslusif dengan pihak Belanda, dalam urusan dagang dan hak atas kedaulatan wilayahnya, serta bantuan dalam bidang persenjataan.[28] Setelah Raja Mahmud wafat, muncul dualisme kepemimpinan di kerajaan ini. Raja Muhammad Ali yang lebih disukai Belanda kemudian menjadi Sultan Siak. Sementara sepupunya Raja Ismail yang tidak disukai Belanda, muncul sebagai Raja Laut, menguasai perairan timur Sumatera sampai ke Laut Cina Selatan, dan membangun kekuatan di gugusan Pulau Tujuh.[29]
Sekitar tahun 1767, Raja Ismail telah menjadi duplikasi dari Raja Kecil. Didukung oleh Orang Laut, ia terus menunjukan dominasinya di kawasan perairan timur Sumatera, dengan mulai mengontrol perdagangan timah di Pulau Bangka, kemudian menaklukan Mempawah di Kalimantan Barat. Sebelumnya Raja Ismail juga turut membantu Terengganu menaklukan Kelantan, hubungan ini kemudian diperkuat oleh adanya ikatan perkawinan antara Raja Ismail dengan saudara perempuan Sultan Terengganu. Pengaruh Raja Ismail di kawasan Melayu sangat signifikan, mulai dari Terengganu, Jambi, dan Palembang. Laporan Belanda menyebutkan, Palembang telah membayar 3.000 ringgit kepada Raja Ismail agar jalur pelayarannya aman dari gangguan. Sementara Hikayat Siak menceritakan tentang kemeriahan sambutan yang diterima oleh Raja Ismail sewaktu kedatangannya ke Palembang.[29]
Pada abad ke-18, Kesultanan Siak telah menjadi kekuatan yang dominan di pesisir timur Sumatera. Tahun 1780, Kesultanan Siak menaklukkan daerah Langkat, dan menjadikan wilayah tersebut dalam pengawasannya,[30] termasuk wilayah Deli dan Serdang.[31] Di bawah ikatan perjanjian kerja sama dengan VOC, pada tahun 1784 Kesultanan Siak membantu VOC menyerang dan menundukkan Selangor.[32] Sebelumnya mereka telah bekerja sama memadamkan pemberontakan Raja Haji Fisabilillah di Pulau Penyengat.
Perdagangan
Kesultanan Siak Sri Inderapura mengambil keuntungan atas pengawasan perdagangan melalui Selat Melaka, serta kemampuan mengendalikan para perompak di kawasan tersebut. Kemajuan perekonomian Siak terlihat dari catatan Belanda yang menyebutkan pada tahun 1783 ada sekitar 171 kapal dagang dari Siak menuju Malaka.[33] Siak menjadi kawasan segitiga perdagangan antara Belanda di Malaka dan Inggris di Pulau Pinang.[34] Namun disisi lain, kejayaan Siak ini memberi kecemburuan pada keturunan Yang Dipertuan Muda terutama setelah hilangnya kekuasaan mereka pada kawasan Kepulauan Riau. Sikap ketidaksukaan dan permusuhan terhadap Sultan Siak, terlihat dalam Tuhfat al-Nafis,[35] di mana dalam deskripsi ceritanya mereka menggambarkan Sultan Siak sebagai "orang yang rakus akan kekayaan dunia".
Peranan Sungai Siak sebagai bagian kawasan inti dari kerajaan ini, berpengaruh besar terhadap kemajuan perekonomian Siak Sri Inderapura. Sungai Siak merupakan kawasan pengumpulan berbagai produk perdagangan, mulai dari kapur barus, benzoar, timah, dan emas. Sementara pada saat bersamaan masyarakat Siak juga telah menjadi eksportir kayu yang utama di Selat Malaka, serta salah satu kawasan industri kayu untuk pembuatan kapal maupun bangunan. Dengan cadangan kayu yang berlimpah, pada tahun 1775 Belanda mengizinkan kapal-kapal Siak mendapat akses langsung kepada sumber beras dan garam di Pulau Jawa, tanpa harus membayar kompensasi kepada VOC. Namun tentu dengan syarat Belanda juga diberikan akses langsung kepada sumber kayu di Siak, yang mereka sebut sebagai kawasan hutan hujan yang tidak berujung.[36]
Dominasi Kesultanan Siak terhadap wilayah pesisir pantai timur Sumatera dan Semenanjung Malaya cukup signifikan. Mereka mampu menggantikan pengaruh Johor sebelumnya atas penguasaan jalur perdagangan. Selain itu Kesultanan Siak juga muncul sebagai pemegang kunci ke dataran tinggi Minangkabau, melalui tiga sungai utama yaitu Siak, Kampar, dan Kuantan, yang mana sebelumnya telah menjadi kunci bagi kejayaan Malaka. Namun demikian kemajuan perekonomian Siak memudar seiring dengan munculnya gejolak di pedalaman Minangkabau yang dikenal dengan Perang Padri.[28]
Penurunan
Ekspansi kolonialisasi Belanda ke kawasan timur Pulau Sumatera tidak mampu dihadang oleh Kesultanan Siak, dimulai dengan lepasnya Kesultanan Deli, Kesultanan Asahan, Kesultanan Langkat, dan kemudian muncul Inderagiri sebagai kawasan mandiri.[37] Begitu juga di Johor, di mana seorang sultan dari keturunan Tumenggung Johor kembali didudukkan, dan berada dalam perlindungan Inggris di Singapura.[38][39] Sementara Belanda memulihkan kedudukan Yang Dipertuan Muda di Pulau Penyengat, dan kemudian mendirikan Kesultanan Lingga di Pulau Lingga. Selain itu Belanda juga mempersempit wilayah kedaulatan Siak, dengan mendirikan Residentie Riouw yang merupakan bagian dari pemerintahan Hindia Belanda yang berkedudukan di Tanjung Pinang.[40][41][42]
Penguasaan Inggris atas Selat Melaka, mendorong Sultan Siak pada tahun 1840 untuk menerima tawaran perjanjian baru mengganti perjanjian yang telah mereka buat sebelumnya pada tahun 1819. Perjanjian ini menjadikan wilayah Kesultanan Siak semakin kecil dan terjepit antara wilayah kerajaan kecil lainnya yang mendapat perlindungan dari Inggris.[43] Demikian juga pihak Belanda menjadikan kawasan Siak sebagai salah satu bagian dari pemerintahan Hindia Belanda,[44] setelah memaksa Sultan Siak menandatangani perjanjian pada 1 Februari 1858.[28][45] Dari perjanjian tersebut Siak Sri Inderapura kehilangan kedaulatannya, kemudian dalam setiap pengangkatan raja, Siak mesti mendapat persetujuan dari Belanda. Selanjutnya dalam pengawasan wilayah, Belanda mendirikan pos militer di Bengkalis serta melarang Sultan Siak membuat perjanjian dengan pihak asing tanpa persetujuan pemerintahan Hindia Belanda.[28]
Perubahan peta politik atas penguasaan jalur Selat Malaka, kemudian adanya pertikaian internal Siak dan persaingan dengan Inggris dan Belanda, melemahkan pengaruh hegemoni Kesultanan Siak atas wilayah-wilayah yang pernah dikuasainya.[46] Tarik ulur kepentingan kekuatan asing terlihat pada Perjanjian Sumatera antara pihak Inggris dan Belanda, menjadikan Siak berada pada posisi yang dilematis, berada dalam posisi tawar yang lemah.[47]Kemudian berdasarkan perjanjian pada 26 Juli 1873, pemerintah Hindia Belanda memaksa Sultan Siak, untuk menyerahkan wilayah Bengkalis kepada Residen Riau.[48] Namun di tengah tekanan tersebut, Kesultanan Siak masih tetap bertahan sampai kemerdekaan Indonesia,[6] walau pada masa pendudukan tentara Jepang sebagian besar kekuatan militer Kesultanan Siak sudah tidak berarti lagi.
Bergabung dengan Indonesia
Sultan Syarif Kasim II, merupakan Sultan Siak terakhir yang tidak memiliki putra. Seiring dengan kemerdekaan Indonesia, Sultan Syarif Kasim II menyatakan kerajaannya bergabung dengan negara Republik Indonesia.[6]
Struktur pemerintahan
Sebagai bagian dari rantau Minangkabau, sistem pemerintahan Kesultanan Siak mengikuti model Kerajaan Pagaruyung. Setelah posisi Sultan, terdapat Dewan Menteri yang mirip dengan kedudukan Basa Ampek Balai di Pagaruyung. Dewan Menteri ini memiliki kekuasaan untuk memilih dan mengangkat Sultan Siak, sama dengan Undang Yang Ampat di Negeri Sembilan.[49] Dewan Menteri bersama dengan Sultan, menetapkan undang-undang serta peraturan bagi masyarakatnya.[14][50] Dewan menteri ini terdiri dari:
- Datuk Tanah Datar
- Datuk Limapuluh
- Datuk Pesisir
- Datuk Kampar
Seiring dengan perkembangan zaman, Siak Sri Inderapura juga melakukan pembenahan sistem birokrasi pemerintahannya. Hal ini tidak lepas dari pengaruh model birokrasi pemerintahan yang berlaku di Eropa maupun yang diterapkan pada kawasan kolonial Belanda dan Inggris. Modernisasi sistem penyelenggaraan pemerintahan Siak terlihat pada naskah Ingat Jabatan yang diterbitkan tahun 1897. Naskah ini terdiri dari 33 halaman yang panjang serta ditulis dengan Abjad Jawi atau tulisan Arab-Melayu. Ingat Jabatan merupakan dokumen resmi Siak Sri Inderapura yang dicetak di Singapura, berisi rincian tanggung jawab dari berbagai posisi atau jabatan di pemerintahan mulai dari pejabat istana, wakil kerajaan di daerah jajahan, pengadilan maupun polisi. Pada bagian akhir dari setiap uraian tugas para birokrat tersebut, ditutup dengan peringatan serta perintah untuk tidak khianat kepada sultan dan nagari.[51]
Perkembangan selanjutnya, Siak Sri Inderapura juga menerbitkan salah satu kitab hukum atau undang-undang, dikenal dengan nama Bab al-Qawa'id.[52]Kitab ini dicetak di Siak tahun 1901, menguraikan hukum yang dikenakan kepada masyarakat Melayu dan masyarakat lain yang terlibat perkara dengan masyarakat Melayu. Namun tidak mengikat orang Melayu yang bekerja dengan pihak pemerintah Hindia Belanda, di mana jika terjadi permasalahan akan diselesaikan secara bilateral antara Sultan Siak dengan pemerintah Hindia Belanda.[14]
Dalam pelaksanaan masalah pengadilan umum di Kesultanan Siak diselesaikan melalui Balai Kerapatan Tinggi yang dipimpin oleh Sultan Siak, Dewan Menteri dan dibantu oleh Kadi Siak serta Controleur Siak sebagai anggota. Selanjutnya beberapa nama jabatan lainnya dalam pemerintahan Siak antara lain Pangiran Wira Negara, Biduanda Pahlawan, Biduanda Perkasa, Opas Polisi. Kemudian terdapat juga warga dalam yang bertanggung jawab terhadap harta-harta disebut dengan Kerukuan Setia Raja, serta Bendahari Sriwa Raja yang bertanggung jawab terhadap pusaka kerajaan.[51]
Dalam administrasi pemerintahannya Kesultanan Siak membagi kawasannya atas hulu dan hilir, masing-masing terdiri dari beberapa kawasan dalam bentuk distrik[48] yang dipimpin oleh seseorang yang bergelar Datuk atau Tuanku atau Yang Dipertuan dan bertanggungjawab kepada Sultan Siak yang juga bergelar Yang Dipertuan Besar. Pengaruh Islam dan keturunan Arab mewarnai Kesultanan Siak,[53] salah satunya keturunan Al-Jufri yang bergelar Bendahara Patapahan.[54]
Pada kawasan tertentu, ditunjuk Kepala Suku yang bergelar Penghulu, dibantu oleh Sangko Penghulu, Malim Penghulu serta Lelo Penghulu. Sementara terdapat juga istilah Batin, dengan kedudukan yang sama dengan Penghulu, namun memiliki kelebihan hak atas hasil hutan yang tidak dimiliki oleh Penghulu. Batin ini juga dibantu oleh Tongkat, Monti dan Antan-antan. Istilah Orang Kaya juga digunakan untuk jabatan tertentu dalam Kesultanan Siak, seperti halnya digunakan di Kesultanan Johor dan Urang Kayo di Minangkabau terutama pada kawasan pesisir.[14][50][55]
Daftar Sultan Siak
adalah daftar Sultan Siak Sri Inderapura.
Warisan sejarah
Siak Sri Inderapura sampai sekarang tetap diabadikan sebagai nama ibu kota dari Kabupaten Siak, dan Balai Kerapatan Tinggi yang dibangun tahun 1886 serta Istana Siak Sri Inderapura yang dibangun pada tahun 1889,[60][61][62]masih tegak berdiri sebagai simbol kejayaan masa silam, termasuk Tari Zapin Melayu dan Tari Olang-olang yang pernah mendapat kehormatan menjadi pertunjukan utama untuk ditampilkan pada setiap perayaan di Kesultanan Siak Sri Inderapura.[50] Begitu juga nama Siak masih melekat merujuk kepada nama sebuah sungai di Provinsi Riau sekarang, yaitu Sungai Siak yang bermuara pada kawasan timur pulau Sumatera.[63]
Galeri Bendera
Lihat Pula
Rujukan
- ^ Supplement-catalogus Der Maleische en Minangkabausche Handschriften in de Leidsche Universiteits - Bibliotheek, Brill Archive.
- ^ a b c d Andaya, L.Y., (1972), Raja Kechil and the Minangkabau conquest of Johor in 1718, JMBRAS, 45-2.
- ^ The Edinburgh Gazetteer, Or Geographical Dictionary, A. Constable and Company, 1822.
- ^ a b Barnard, T. P., (2003), Multiple centres of authority: society and environment in Siak and eastern Sumatra, 1674-1827, KITLV Press, ISBN 90-6718-219-2.
- ^ a b c Cave, J., Nicholl, R., Thomas, P. L., Effendy, T., (1989), Syair Perang Siak: a court poem presenting the state policy of a Minangkabau Malay royal family in exile, Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society
- ^ a b c Samin, S. M., (2002), Sultan Syarif Kasim II: pahlawan nasional dari Riau, Yayasan Pusaka Riau, ISBN 979-9339-65-0.
- ^ As, M. S., (1996), Ulama pembawa Islam di Indonesia dan sekitarnya, Lentera Basritama, ISBN 979-8880-16-1
- ^ a b Jasmi, K., (2005), Surau: kumpulan cerpen, Penerbit Republika, ISBN 979-3210-49-4.
- ^ Tod, James (1899). The annals and antiquities of Rajastʾhan: or the central and ..., Volume 2. Indian Publication Society. p. 1010.
- ^ Iaroslav Lebedynsky. (2006). Les Saces: Les «Scythes» d'Asie, VIIIe siècle av. J.-C. — IVe siècle apr. J.-C. Editions Errance, Paris. ISBN 2-87772-337-2
- ^ Suparlan P., (1995), Orang Sakai di Riau: masyarakat terasing dalam masyarakat Indonesia : kajian mengenai perubahan dan kelestarian kebudayaan Sakai dalam proses transformasi mereka ke dalam masyarakat Indonesia melalui Proyek Pemulihan Pembinaan Kesejahteraan Masyarakat Terasing, Departemen Sosial, Republik Indonesia, Yayasan Obor Indonesia, ISBN 979-461-215-4.
- ^ Lamry, M. S., Nor, H. M., (1993), Masyarakat dan Perubahan, Penerbit Universiti Kebangsaan Malaysia, ISBN 967-942-249-6.
- ^ http://www.jais.gov.my Iklan Jawatan Kosong
- ^ a b c d e Luthfi, A., (1991), Hukum dan perubahan struktur kekuasaan: pelaksanaan hukum Islam dalam Kesultanan Melayu Siak, 1901-1942, Susqa Press.
- ^ Cortesão, Armando, (1944), The Suma Oriental of Tomé Pires, London: Hakluyt Society, 2 vols.
- ^ a b Barnard, T. P., (2004), Contesting Malayness: Malay identity across boundaries, NUS Press, ISBN 9971-69-279-1.
- ^ Coolhaas, W.P. (1964). "Generale Missiven der V.O.C.". Journal of Southeast Asian History 2 (7). doi:10.1017/S0217781100003318.
- ^ NA, VOC 1895, Malacca, 30 Januari 1718, fols.55-6.
- ^ Andaya, L.Y., (1971), The Kingdom of Johor, 1641-1728: a study of economic and political developments in the Straits of Malacca. s.n.
- ^ Samad, A. A., (1979), Sulalatus Salatin, Dewan Bahasa dan Pustaka.
- ^ Borschberg, P., (2004), Iberians in the Singapore-Melaka Area and Adjacent Regions (16th to 18th Century), Otto Harrassowitz Verlag, ISBN 3-447-05107-8.
- ^ Ricklefs, M.C., (2002), A History of Modern Indonesia Since C. 1200, Stanford University Press, ISBN 0-8047-4480-7.
- ^ NA, VOC 1557, Jambi, 1 April 1694, fols.35-6.
- ^ a b Andaya, L.Y., (1975), The Kingdom of Johor, 1641-1728, Kuala Lumpur: Oxford University Press.
- ^ Ryan, N.J., (1969), The making of modern Malaysia and Singapore: a history from earliest times to 1966, Oxford University Press.
- ^ Miller, F.P., Vandome, A.F., McBrewster, J., (2010), Johor Sultanate, VDM Verlag Dr. Mueller e.K., ISBN 6133801638.
- ^ Abshire, J., (2011), The History of Singapore, ABC-CLIO, ISBN 0-313-37742-1.
- ^ a b c d Reid, A., (2005), Asal mula konflik Aceh: dari perebutan pantai Timur Sumatra hingga akhir kerajaan Aceh abad ke-19, Yayasan Obor Indonesia, ISBN 979-461-534-X.
- ^ a b Barnard, T.P., Texts, Raja Ismail and Violence: Siak and the Transformation of Malay Identity in theEighteenth Century, Journal of Southeast Asian Studies, Vol. 32, No. 3 (Oct., 2001), pp. 331-342.
- ^ Penelitian dan pengkajian naskah kuno daerah Jambi, Volume 2, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara, 1989
- ^ Cribb, R. B., Kahin, A., (2004), Historical dictionary of Indonesia, Scarecrow Press, ISBN 0-8108-4935-6.
- ^ Karl Hack, Tobias Rettig, (2006), Colonial armies in Southeast Asia, Routledge, ISBN 0-415-33413-6.
- ^ Lee Kam Hing, (1986), The Shipping Lists of Dutch Melaka; A Source for the Study of Coastal trade and Shipping in the Malay peninsula during the 17th and 18th centuries, in: Mohd. Yusoff Hashim et al., Kapal dan Harta Karam; Ships and Sunken Treasure, pp. 53-76, Kuala Lumpur: Muzium Malaysia.
- ^ The London general gazetteer, or Geographical dictionary: containing a description of the various countries, kingdoms, states, cities, towns, &c. of the known world, W. Baynes & Son, 1825.
- ^ Ali Haji bin Raja Haji Ahmad, (1997), Tuhfat al-Nafis, Fajar Bakti.
- ^ VOC 3470, Secret Letters from Malacca to Batavia for 1775, f. 339-34.
- ^ History of the Royal Dutch, Vol. 1, Brill Archive.
- ^ Cook, Bethune, (1819), Sir Thomas Stamford Raffles: Founder of Singapore, 1819 and some of his friends and contemporaries, London : A.H. Stockwell.
- ^ Trocki, C. A., (2007), Prince of Pirates: The Temenggongs and the Development of Johor and Singapore, 1784-1885, NUS Press, ISBN 9971-69-376-3.
- ^ Netscher, E., (1854), Beschrijving van een Gedeelte der Residentie Riouw, Tijdschrift voor Indische Taal- Land- en, Volkenkunde.
- ^ Overeenkomsten met de zelfbesturen in de Residentie Riouw en Onderhoorigheden 1857-1909
- ^ Bijdragen tot de taal-, land- en volkenkunde, 1997, Volume 153, Issues 3-4, Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde, M. Nijhoff.
- ^ Locher-Scholten, E., (2004), Sumatran Sultanate and Colonial State: Jambi and the Rise of Dutch Imperialism, 1830-1907, SEAP Publications, ISBN 0-87727-736-2.
- ^ Dick, H.W., (2002), The Emergence of a National Economy: An Economic History of Indonesia, 1800-2000, University of Hawaii Press, ISBN 0-8248-2552-7.
- ^ Panhuys, H. F., (1978), International Law in the Netherlands, BRILL, ISBN 90-286-0108-2.
- ^ Milner, A. C., (1982), Kerajaan: Malay political culture on the eve of colonial rule, University of Arizona Press, ISBN 0-8165-0772-4.
- ^ http://www.fco.gov.uk Treaty (diakses pada 26 April 2012)
- ^ a b Wolters, O. W., (1999), History, Culture, and Region in Southeast Asian Perspectives, SEAP Publications, ISBN 0-87727-725-7.
- ^ Martin, L., (1889), The Negri Sembilan: their origin and constitution, Singapore, Foreign and Commonwealth Office Collection.
- ^ a b c Sejarah daerah Riau, Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977.
- ^ a b Barnard, T.P., Rules for Rulers: Obscure Texts, Authority, and Policing in Two Malay States, Journal of Southeast Asian Studies, Vol. 32, No. 2 (Jun., 2001), pp. 211-225.
- ^ Junus, H., Bab al-Qawa'id: Kitab Pegangan Hukum Dalam Kerajaan Siak, Yayasan Pusaka Riau.
- ^ Dobbin, C. E., (1983), Islamic revivalism in a changing peasant economy: central Sumatra, 1784-1847, Curzon Press, ISBN 0-7007-0155-9.
- ^ L.W.C. van de Berg, Le Hadramouth et les colonies Arabes dans l'archipel Indien, Batavia:Imprimerie du gouvernement, 1886.
- ^ Kathirithamby-Wells, J., Royal Authority and the "Orang Kaya" in the Western Archipelago, circa 1500-1800, Journal of Southeast Asian Studies, Vol. 17, No. 2 (Sep., 1986), pp. 256-267.
- ^ (Belanda) Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, Lembaga Kebudajaan Indonesia (1862). Tijdschrift voor Indische taal-, land-, en volkenkunde 11. Lange & Co. p. 113.
- ^ Koster, G. L., (1997) Roaming through seductive gardens: readings in Malay narrative, Volume 167 of Verhandelingen Series, Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde.
- ^ Or. 2242 IV, Surat Sultan Siak kepada Belanda tanggal 22 Ramadhan 1248 (22 Februari 1833)
- ^ Dutch East Indies, (1941), Regeerings-Almanak voor Nederlandsch-Indië, Volume 1.
- ^ Rahman, E., Marni, T., Zulkarnain, (2003), Alam melayu: Sejumlah gagasan menjemput keagungan, Unri Press, ISBN 979-3297-76-X
- ^ Tempo, Volume 9, Badan Usaha Jaya Press Jajasan Jaya Raya, 1979.
- ^ Berkmoes, V. R., (2010), Indonesia, Lonely Planet, ISBN 1-74104-830-3.
- ^ Kodoatie, R.J., Sjarief, R., (2010), Tata Ruang Air, Penerbit Andi, ISBN 979-29-1242-8.
Daftar Pustaka
- Flicher, A., (2009), Les Etats princiers des Indes néerlandaises, Dreux
- Ghalib, W., (1992), Adat istiadat Melayu Riau di bekas Kerajaan Siak Sri Indrapura: pengkajian dan pencetakan kebudayaan Melayu Riau, Lembaga Adat Daerah Riau, Lembaga Adat Riau dan Pemerintah Daerah Tk. I Prop. Riau, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah Riau.
- Muhammad, H.T.S.U., Effendy, T., Jaafar, T.R., (1988), Silsilah keturunan raja-raja Kerajaan Siak Sri Indrapura dan Kerajaan Pelalawan.s.n.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar