Masuknya Islam ke Minangkabau
Islam masuk ke Minangkabau diperkirakan sekitar abad VII M. Meskipun begitu ada juga pendapat lain, yaitu abad XIII, namun para sejarawan sepakat menyatakan bahwa penyebaran Islam melalui tiga jalur :
Pertama, jalur dagang. Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa Minangkabau selain terletak pada jalur yang strategis dalam hal perdagangan juga merupakan penghasil komoditi pertanian dan rempah-rempah terbesar di pulau Sumatera seperti lada dan pala. Potensi demikian mengundang minat para pedagang asing untuk memasuki dan mengembangkan pengaruhnya di Minangkabau. Dan diantara para pedagang asing tersebut, ada pedagang Islam yang mereka juga menyebarkan Islam.
Adanya interaksi dalam hal perdagangan dan pergaulan maka secara tidak langsung, mereka juga telah menyiarkan Islam. ini menunjukkan bahwa penyiaran Islam ketika itu telah berlangsung meskipun belum terencana dan terprogram.[2]
Karena itulah, banyak diantara tokoh-tokoh Minang tertarik dengan Islam, apalagi praktik hidup mereka. Salah satu yang mendorong dan mudahnya mereka menerima Islam adalah ajarannya yang sederhana dan mudah dipahami, lagipula budaya dan falsafah adat yang dianut dan sifat yang lebih terbuka memberikan nuansa positif bagi perkembangan Islam di wilayah ini.
Namun demikian penyiaran Islam sempat terhenti pada periode ini karena terhalang oleh tindakan Dinasti Cina T’ang yang merasa kepentingan ekonominya di Minangkabau Timur terancam oleh Khalifah Umayyah. Keadaan ini berlangsung lebih kurang 400 tahun. Akibatnya perkembangan Islam pun terhenti sampai tahun 1000 M.
Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa pengembangan Islam pada dekade ini dilakukan melalui pendekatan kultural, yaitu disesuaikan dengan kondisi sosial dan budaya masyarakat Minang.
Kedua, penyiaran Islam tahap ini berlangsung pada saat Pesisir Barat Minangkabau berada di bawah pengaruh Aceh (1285-1522 M). Sebagai umat yang telah terlebih dulu masuk Islam, pedagang Aceh juga berperan sebagai Mubaligh. Mereka giat melakukan penyiaran dan mengembangkan Islam di daerah pesisir dimana mereka berdagang terutama wilayah dibawah pengaruh Aceh (Samudra Pasai). Salah satu faktor pendorong mereka adalah hadits Rasulullah SAW yang menyatakan bahwa “Sampaikanlah ajaranku meskipun hanya satu ayat”. Sejak itu Islamisasi di Minangkabau dilakukan secara besar-besaran dan terencana. Keadaan ini berlangsung pada abad XV M.
Pada masa ini pula seorang putra Minangkabau Burhanuddin, putra Koto Panjang Pariaman, masuk Islam. ia kemudian pergi Aceh menuntut ilmu keislaman pada Syaikh Abdur Rauf. Setelah pulang dari aceh, ia secara intensif mulai mengajarkan Islam di daerahnya terutama sekitar Ulakan. Ternyata apa yang ia usahakan disambut baik oleh masyarakat untuk mempelajari dari berbagai pelosok Minangkabau.
Dalam waktu relatif pendek, Ulakan menjadi ramai dikunjungi masyarakat untuk mempelajari Islam lebih jauh. Padahal sebelumnya,, Ulakan hanya suatu daerah terpencil. Sejak itu sampai sekarang tempat ini masih ramai dikujungi oleh umat Islam dari berbagai penjuru tanah air, terutama pada bulan Shafar.
Melalui murid-murid Burhanuddin lah Islam berkembang sampai ke daerah Darek (dataran tinggi). Sehubungan dengan itu muncul pepatah adat mengatakan bahwa syarak mandaki adat menurun. Artinya, Islam mulai dikembangkan dari di daerah pesisir ke daerah pedalaman, sementara adat berasal dari darek baru kemudian dikembangkan ke daerah rantau termasuk pesisir.[3]
Ketiga, Islam dari pesisir Barat terus mendaki ke daerah Darek. Pada periode ini kerajaan Pagaruyung sebagai pusat pemerintahan Minangkabau masih menganut agama Buddha, namun demikian, sebagian besar masyarakat telah menganut Islam, pengaruhnya begitu nampak di dalam kehidupan sehari-hari. Keadaan ini bagi Pagaruyung hanya menunggu waktu memeluk Islam. sehubungan dengan hal itu, Islam baru masuk menembus Pagaruyung setelah Anggawarman Mahadewa, sang raja, memeluk Islam. setelah ia masuk Islam namanya diganti dengan Sultan Alif.
Sejak itu, Pagaruyung resmi menjadi kerajaan Islam dan sekaligus raja melakukan perombakan dan penyempurnaan sistem pemerintahan disesuaikan dengan lembaga yang telah berkembang di dunia islam. Penyempurnaan yang dilakukan adanya lembaga pemerintahan bari di tingkat atas, yaitu raja ibadat berkedudukan di Sumpur Kudus. Lembaga ini merupakan imbangan terhadap raja adat berkedudukan di Buo. Masuknya Anggawarman mahadewa masuk Islam, secara tidak langsung penyebaran Islam makin luas hampir ke seluruh wilayah Minangkabau.
Hal ini tentu saja tidak terlepas dari pengaruh dan dukungan yang diberikan Sultan Alif terhadap penyiaran Islam. Meksipun ketika itu penguasa memberikan dukungan penuh kepada para da’I, namun penyiaran Islam tidak dilakukan melalui pendekatan kekuasaan, tetapi tetap melalui pendekatan kultural masyarakat, sehingga tidak terjadi akses negative, apalagi meresahkan masyarakat setempat.[4]
Berdasarkan fakta sejarah tersebut, kehadiran Islam bagi masyarakat Minangkabau merupakan suatu rahmat, karena dengan ajaran Islam adat Minangkabau semakin kokoh dan sempurna. Sehubungan dengan itu, Syaifullah berpendapat bahwa sejak Islam menjadi agama masyarakat Minangkabau, adatnya mengandung ajaran-ajaran yang bersamaan dalam bidang sosial. Dengan begitu adat Minangkabau juga mengandung ajaran tentang aturan yang mengatur tentang hubungan antara sesama manusia, hubungan manusia dengan Khaliqnya, aturan tentang membina persatuan, aturan tentang memegang teguh prinsip musyawarah atau mufakat, dan tujuan yang hendak dicapai dengan mempergunakan ajaran yang empat macam sebagai pegangan dan pedoman.[5]
Berdasarkan paparan di atas proses masuknya Islam ke Minangkabau tidak terlepas dari peran Ulama Aceh, salah satunya adalah Syaikh Abdur Rauf, yang turut menyiarkan dan menyebarkan Islam melalui Syaikh Burhanuddin.
Dan Al-Qur’an bagi orang Minang merupakan konstitusi tertinggi bagi budaya dan masyarakat. Karenanya tidak masuk akal jika ada orang Minang yang beragama selain Islam. Dan tidak pula keliru menyebut bahwa orang Minang yang pindah agama tidak lagi berada dalam koridor ke-Minangkabauannya. Karena itu aib besar bagi seorang Minang dikatakan tidak beradat dan tidak beragama (Islam).[6]
Footnote :
[1] Bakhtiar, dkk., Ranah Minang Di Tengah Cengkeraman Kristenisasi, Bumi Aksara, 2005, hlm. 7.
[2] Ibid, hlm. 16-17.
[3] Ibid, hlm. 17-18.
[4] Ibid, hlm. 18-19.
[5] Ibid, hlm. 19-20.
[6] Ibid, hlm. 31-33.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar