A. Profil Ali ibn Abi Thalib
Nama lengkapnya adalah Abu Hasan Ali ibn Abi Thalib ibn Abdul Muththalib al-Hasyimi al-Qurasyi. Sewaktu lahir beliau bernama Haydar (al-Hayadarah) oleh ibunya yang bernama Fatimah binti As’ad, namun kemudian diganti oleh ayahnya yang bernama Abu Thalib ibn Abd Muththalib dengan nama Ali. Beliau juga gelar Abu Thurab (Si Bapak debu-tanah) oleh nabi karena pernah dijumpai tidur diatas tanah.[1]
Saudara sepupu dan putra angkat nabi ini lahir di dalam Ka’bah pada 600 M., tahun 23 sebelum hijrah. Beliau tergolong generasi pertama yang memeluk islam setelah Khadijah binti Khuwailid, sesaat setelah al-Qur’an memerintahkan nabi untuk memberi peringatan kepada kerabat-kerabatnya.[2]
Sejak memeluk islam, beliau selalu bersama dengan rasulullah saw. Taat kepadanya dan banyak menyaksikan proses turunnya wahyu. Sebagai anak asuh yang dibesarkan di rumah nabi. Sejak kecilnya beliau sangat disayangi sehingga tatkala tiba usia dewasa, beliau dinikahkan dengan putri nabi yang bernama Fatimah.[3]
Ali dikenal sangat zahid dalam kehidupan sehari-hari. Tidak tampak perbedaan dalam kehidupan rumah tangganya antara sebelum dan sesudah diangkat sebagai khalifah. Kehidupan sederhana itu bukan hanya diterapkan pada dirinya, melainkan juga kepada putra-putrinya.
Ali adalah sahabat yang sangat disegani karena kepiawaiannya dalam banyak macam ilmu pengetahuan, baik soal hukum, rahasia ketuhanan maupun segala persoalan keagamaan secara teoritis dan praktis. Rasulullah sendiri memujinya sebagaimana sabdanya: Aku adalah gudangnya ilmu dan Ali adalah kuncinya[4]
Disamping cerdas, Ali juga dikenal sebagai panglima perang yang gagah perkasa. Keberaniannya menggetarkan hati lawan-lawannya. Beliau mempunyai sebilah pedang warisan dari rasululullah saw.bernama “Zul Fiqar”[5] Beliau turut serta pada hampir semua peperangan yang terjadi pada masa rasulullah saw. dan selalu menjadi andalan di barisan terdepan.
B. Ali ibn Abi Thalib: Khalifah, Perjuangan dan Tantangan.
Pada saat Abu Bakar menjadi khalifah di usianya yang keenam puluh, Ali saat itu adalah sudah menjadi tokoh muda yang energik yang baru berusia tiga puluh tahunan, namun orang-orang disekitarnya selalu meminta pandangan-pandangannya dalam berbagai hal. Ali tetap menyatakan kesetiaannya kepada ketiga khalifah dan mengakui abilitas dan integritasnya. Ali memiliki kontribusi yang besar dalam usaha konsolidasi kekuatan islam, yang sedang menghadapi berbagai tantangan sepeninggal rasululullah saw. meskipun beliau dianggap salah seorang yang paling pantas untuk menggantikan rasulullah, beliau tidak menampilkan diri untuk menjadi kandidat khalifah. Beliau malah menolak tawaran yang diajukan oleh Abbas (paman nabi), dan Abu Sofyan yang secara sukarela menyatakan dukungan dan kesetiaannya pada Ali untuk menjadi khalifah. Beliau ditempatkan oleh banyak kalangan dalam sederetan negarawan ulung yang ditandai dengan sikap legowo, setia mendukung Abu Bakar, Umar, Utsman sebagai khalifah.[6]
Posisi terhormat Ali ibn Abi Thalib tergambar dari kebijakan Umar bin Khattab atas pengangkatannya dalam komisi Syura “Komisi Pemilih” di penghujung usianya.[7]Komisi ini bertugas memilih khalifah penerus tonggak kepemimpinan.
Pada masa pemerintahan Utsman bin Affan Ali ibn Abi Thalib senantiasa memberi nasehat agar beliau bersikap tegas terhadap kaum kerabatnya yang melakukan penyelewengan yang mengatas namakan dirinya, namun nasehat-nasehat tersebut tidak ditanggapi. Akibatnya, orang-orang yang tidak setuju kepadanya melancarkan protes dan huru-hara. Utsman bin Affan memimpin kekhalifahan selama 12 tahun namun para sejarawan mencatat bahwa tidak seluruh masa kepemimpinannya meraih kesuksesan. Enam tahun pertama merupakan masa pemerintahan yang baik enam tahun berikutnya masa pemerintahan yang buruk.[8] Paruh terakhir kepemimpinan khalifah Utsman menghadapi banyak pemberontakan dan oposisi sebagai bentuk protes ummat islam atas kebijakan pemerintahannya yang cenderung terlalu mengakomodir kepentingan-kepentingan Bani Umayyah.[9]
Ketidak puasan yang membara itu meledak dalam bentuk pemberontakan pada tahun 35 H./656 M., ketika rombongan pemberontak dari Bashrah dan Mesir bergerak ke Madinah di bawah kepemimpinan para Qurra(oposisi kaum shaleh).[10] Dalam keadaan terdesak, Utsman meminta bantuan kepada Ali. Ketika itu Ali berupaya memadamkan kekacauan sekuat mungkin, tetapi keadaan sangat sulit. Ketika rumah Utsman dikepung oleh kaum pemberontak, Ali memerintahkan kedua putranya, Hasan dan Husein untuk bersiaga di rumah Utsman dan melindunginya dari kerumunan orang. Akan tetapi karena pemberontak berjumlah besar dan sudah kalap, mereka didesak dan didorong ke samping oleh massa, sehingga nyawa khalifah Utsman tidak dapat diselamatkan.[11]
Dalam suasana keruh menyusul pembunuhan khalifah Utsman, pandangan orang mulai mengarah kepada Ali ibn Abi Thalib. Banyak yang menyebutkan posisi dan keutamaan beliau.[12] Kaum muslimin di Madinah didukung oleh ketiga-tiga pasukan yang datang dari Mesir, Basrah dan Kufah, meminta kesediaan Ali untuk dibai’at menjadi khalifah. Mereka beranggapan bahwa tidak ada lagi selain Ali yang patut menduduki kursi khalifah setelah Utsman.[13]
Pada saat itu, stabilitas keamanan di kota Madinah menjadi rawan, disaat yang sama kebingungan melanda kota, penduduk dihantui perasaan takut dan tidak tenang, hukum tidak berlaku, para sahabat bertebaran di berbagai kota, apalagi pada waktu itu bertepatan dengan musim haji, banyak diantara sahabat-sahabat terkemuka yang menunaikan ibadah haji, diantaranya adalah Aisyah r.a. Kecuali beberapa diantaranya yang tetap berada di Madinah di bawah pimpinan Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam. Sedangkan mereka itu tidak semuanya menyokong Ali.[14] Walaupun demikian Ali tetap dibai’at sebagai khalifah keempat oleh mayoritas sahabat yang ada di Madinah, termasuk didalamnya Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam serta para pemberontak.
Peristiwa pembai’atan ini terjadi pada hari Jum’at,13 Dzul Hijjah 35 H./23 Juni 656 M di Mesjid Nabawi, seperti pembai’atan para khalifah sebelumnya.[15]
Ali sendiri sesungguhnya tidaklah terlalu berambisi dengan jabatan itu, pada awalnya beliau menampik[16] dengan mengatakan bahwa Thalhah dan Zubairlah yang lebih cocok untuk menempati posisi kekhalifahan tersebut. Hanya karena terus-menerus didesak, kemudian dukungan yang datang makin gencar, akhirnya beliau menerima jabatan tersebut.
Seperti halnya ketiga khalifah sebelumnya, sesaat setelah terpilih, khalifah Ali juga menyampaikan pidato sambutan khalifah yang diawali dengan ucapan syukur dan puja-puji kepada Allah swt. Diiringi dengan shalawat kepada Nabi dan keluarganya, kemudian dilanjutkan:
“Hadirin saudaraku, kalian telah membai’at saya sebagaimana yang telah kalian lakukan terhadap khalifah-khalifah sebelum saya. Saya hanya boleh mengelak sebelum jatuh pilihan, tetapi kalau pilihan telah dijatuhkan , maka saya tak dapat lagi menolak. Imam atau pemimpin harus teguh dan rakyat mesti patuh. Bai’at terhadap diri saya ini adalah bai’at yang rata dan umum. Barang siapa yang ingkar darinya terpisahlah ia dari agama Islam.”
“Kaum muslimin sekalian, sesungguhnya Allah ta’ala telah menurunkan al-Qur’an yang didalamnya terdapat petunjuk-petunjuk tentang kebaikan dan keburukan. Maka ambillah yang baik niscaya kalian akan memperoleh petunjuk yang benar, dan jauhilah yang jelek agar kalian terhindar dari akibat buruknya.”
Allah ta’ala mengharamkan sesuatu dan ada pula yang dihalalkannya. Perhatikanlah sungguh-sungguh dan kerjakanlah yang halal itu serta tinggalkanlah yang haram, pasti kalian akan diantar ke surga. Taatilah perintah Allah dan janganlah berbuat maksiat. Suatu pekerjaan hendaklah ditunaikan secara ikhlas. Seorang muslim ialah mereka yang tidak menyakiti sesamanya, baik dengan lidah (kata) maupun dengan anggota tubuhnya ( sikap dan perbuatan). Tidak boleh mengambil harta bendanya tak juga boleh mencela perangainya, kecuali dengan alasan yang benar.”
“Hendaklah kalian saling berpacu dalam memperbanyak perbuatan kebajikan untuk kepentingan masyarakat. Janganlah takut menghadapi kematian, karena bagaimanapun juga kematian pasti bakal datang menjemput dimana saja. Jagalah ketakwaan kamu kepada Allah swt. Dan jangan menentangnya. Hindarilah mengambil harta orang lain, sebab kamu nanti akan ditanyai Allah apa saja yang kamu kerjakan, walau urusan terhadap hewan sekalipun. Kalau melihat kebaikan hendaklah kalian lakukan dan jika tampak olehnya kejahatan, maka jauhi dan tinggalkanlah.”[17]
Segera setelah dibai’at, khalifah Ali mengambil langkah-langkah politik[18], yaitu:
a. Memecat para pejabat yang diangkat oleh Utsman, termasuk didalamnya beberapa gubernur lalu menunjuk penggantinya.
b. Mengambil tanah yang telah dibagikan Utsman kepada keluarga dan kaum kerabatnya.
c. Memberikan kepada kaum muslimin tunjangan yang diambil dari bait al-mal, seperti yang pernah dilakukan oleh Abu Bakar, pemberian dilakukan secara merata, tanpa membedakan sahabat yang lebih dulu memeluk agama Islam atau yang belakangan.
d. Meninggalkan kota Madinah dan menjadikan kota Kufah sebagai pusat pemerintahan.
1. Tantangan dari Thalhah dan Golongannya
Masa pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib diwarnai dengan berbagai pemberontakan. Tidak berselang lama setelah mengambil kebijakan-kebijakan, beliau menghadapi tantangan dari berbagai pihak diantaranya Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam dan Aisyah. Mereka-mereka inilah yang menuntut khalifah agar segera menghukum para pembunuh Utsman. Dan yang sangat disayangkan, pihak-pihak yang terlibat langsung menyaksikan terjadinya tragedi tersebut juga ikut menuntut.
Ada juga yang berpendapat bahwa pemberontakan itu dilatar belakangi oleh keinginan Thalhah dan Zubair untuk merebut jabatan khalifah, akan tetapi mereka tidak mempunyai cukup dukungan.[19]
Sementara itu Aisyah ikut terlibat karena diminta oleh anak angkatnya yang juga keponakannya sendiri, Abdullah bin Zubair yang juga berambisi menjadi khalifah. Dan juga, konon Aisyah dari dulu tidak akur dengan Ali. Thalhah dan Zubair bertemu dengan Aisyah dalam perjalanannya ke Mekkah dengan alasan pergi Haji.[20]
Akan tetapi tuntutan mereka sangat sulit dikabulkan oleh khalifah dengan alasan:pertama, karena tugas utama yang mendesak dilakukan dalam situasi kritis yang penuh intimidasi seperti saat itu adalah memulihkan ketertiban dan mengkonsolidasikan kedudukan kekhalifahan. Kedua, menghukum para pembunuh bukanlah perkara mudah sebab khalifah Utsman tidak dibunuh oleh satu orang saja, melainkan banyak orang dari Mesir, Irak, dan Arab yang secara langsung terlibat dalam perbuatan makar tersebut.
Sementara itu, di Mekkah telah berkumpul para tokoh oposisi yang menginginkan agar hukuman segera dijatuhkan kepada para pembunuh utsman, gubernur-gubernur yang diangkat pada masa utsman yang berasal dari Bashrah dan Yaman telah membawa semua dana yang mampu mereka bawa ke Mekkah ketika mereka dinyatakan dipecat dari jabatannya oleh khalifah Ali. Lalu uang tersebut mereka pergunakan untuk mempersenjatai kekuatan mereka yang direncanakan untuk menghajar Bashrah, setelah itu mereka kemudian mencari dukungan dari Aisyah.
Namun khalifah Ali mendengar rencana mereka itu, dengan cepat beliau mempersiapkan pasukannya dan menyusul mereka ke Bashrah. Sesampai disana, khalifah tidak segera menyerang, tetapi berupaya untuk berdamai dengan mengirim surat kepada Thalhah dan Zubair agar mereka mau berunding. Namun tampaknya penyelesaian damai sulit dicapai sehingga kontak senjata yang dahsyat pun tidak dapat dielakkan lagi.
Peperangan yang terjadi pada tahun 36 H.di Khuraibah (seputar kota Bashrah) terkenal dengan nama “Perang Unta” (jamal), karena dalam peperangan itu Aisyah menunggangi unta. Peperangan tersebut memakan banyak korban, kurang lebih 20.000 kaum muslimin gugur dalam peristiwa perang tersebut. Peperangan itu berhasil dimenangkan oleh Khalifah. Thalhah dan Zubair ikut terbunuh ketika hendak melarikan diri, sementara Aisyah berhasil ditawan dan dikawal kembali ke Madinah dengan penuh penghormatan sebagai Ummul Mu’minin, sedangkan beliau tetap berada diatas untanya.[21]
Segera setelah menyelesaikan gerakan Thalhah cs, pusat kekuasaan Islam dipindahkan ke kota Kufah. Madinah Sejak saat itu berakhir menjadi ibu kota kedaulatan Islam, dan tidak ada lagi khalifah yang berkuasa berdiam disana.
2. Tantangan dari Mu’awiyah
Seperti halnya Thalhah cs, kebijakan-kebijakan khalifah Ali juga mengakibatkan timbulnya pemberontakan dari Mu’awiyah selaku gubernur Damaskus(Syiria) yang diangkat oleh Utsman, Mu’awiyah enggan menyerahkan jabatannya kepada pejabat baru. Namun sikap pembangkangan ini tidak ditindaki dengan tegas oleh khalifah Ali, khalifah hanya mengirim surat undangan untuk datang menghadap kepada khalifah dan sekaligus menyatakan kesetiaannya pada Ali sebagai khalifah. Tetapi Mu’awiyah menolak hingga akhirnya berkobar lagi pertempuran antar sesama muslim.
Khalifah Ali beserta pasukannya bergerak meninggalkan Kufah menuju Syam.Mendengar berita kedatangan mereka, Mu’awiyah dan pasukannya bersiap-siap menghadang diluar kota. Kedua pasukan bertemu di suatu tempat yang bernama Siffin[22]. Yang kemudian menjadi nama atas perang tersebut.
Pada peperangan yang terjadi pada tanggal 1 shafar 37 H./657 M. di dekat sungai Eufrat tersebut, khalifah mengerahkan 50.000 pasukan. Setelah perang berlangsung beberapa hari, pasukan Mu’awiyah terdesak dengan gugurnya 7.000 pasukannya dan tanda-tanda kemenangan terlihat dipihak Khalifah Ali.[23]
Pada saat Mu’awiyah dan tentaranya terdesak Amr bin Ash sebagai penasehat Mu’awiyah yang dikenal cerdik dan pandai berunding, meminta agar Mu’awiyah memerintahkan pasukannya mengangkat mushaf al-Qur’an di ujung tombak sebagai isyarat berdamai dengan cara tahkim (arbitrase) dengan demikian Mu’awiyah terhindar dari kekalahan total.
Mendengar tawaran itu, para imam yang berada di pihak khalifah mendesak agar tawaran pihak Mu’awiyah itu diterima. Dengan demikian, dicarilah jalan damai dengan mendakan hakam(perundingan damai). Perundingan berlangsung pada bulan Ramadhan, dimana masing-masing pihak menunjuk wakil yang akan menjadi hakim (juru penengah). Dari pihak Mu’awiyah ditunjuk Amr bin Ash sedang dari pihak khalifah Ali ditunjuk Abu Musa al-Asy’ari.[24] Kedua hakim itu mempunyai watak dan sikap yang sangant berbeda. Amr bin Ash dikenal pandai berpolitik sementara Abu Musa al-Asy’ari adalah orang yang lurus, rendah hati dan mengutamakan kedamaian.
Seusai perundingan, Abu Musa sebagai yang tertua dipersilahkan untuk berbicara lebih dahulu. Sesuai dengan kesepakatan sebelumnyata antara mereka berdua, Abu Musa menyatakan pemberhentian Ali dari jabatannya sebagai khalifah dan menyerahkan urusan penggantiannya kepada kaum muslimin. Tetapi ketika tiba giliran Amr bin Ash, ia menyatakan persetujuannya atas pemberhentian Ali dan menetapkan jabatan khalifah bagi Mu’awiyah. Ternyata Amr bin Ash menyalahi kesepakatan semula yang dibuat bersama Abu Musa. Sepak terjangnya dalam peristiwa ini merugikan pihak Mu’awiyah.Ali menolak keputusan tahkim tersebut, dan tetap mempertahankan kedudukannya sebagai khalifah.
3. Tantangan dari Khawarij
Sikap khalifah Ali yang menerima tawaran berdamai dari pihak yang semula menyikong beliau dalam menumpas pemberontakan Mu’awiyah itu kemudian keluar dari barisan dan bahkan berbalik memusuhinya. Oleh sebab itu mereka dinamai kaum “Khawarij”(orang-orang yang keluar). Dalam keyakinan mereka yang setuju ber-tahkim telah melanggar ajaran agama. Menurut mereka, hanya tuhan yang berhak menentukan hukum, bukan manusia. Semboyan mereka adalah “La Hukma Illa Billah” (tiada hukum kecuali bagi Allah). Ali dan pasukannya dinilai telah berani membuat keputusan hukum, yaitu berunding dengan lawan.[25]
Kelompok Khawarij menyingkir ke Harurah, sebuah desa dekat Kufah. Disana mereka mengangkat pemimpin sendiri, Syibis bin Rubi’it al-Tamimi sebagai panglima angkatan pereang dan Abdullah bin Wahan al-Rasibi sebagai pemimpin keagamaan. Setelah itu mereka segera menyusun kekuatan untuk menggempur khalifah dan orang-orang yang menyetujui tahkim, termasuk didalamnya Mu’awiyah, Amr bin Ash dan Abu Musa al-Asy’ari.[26]
Untuk menghadapi situasi itu, khalifah terpaksa berangkat dengan tentaranya untuk menghadapi Khawarij. Mula-mula khalifah berpidato mengajak mereka supaya taat dan kembali ke barisannya. Akan tetapi mereka enggan dan menjawab:
“ Kami telah menjadi kafir karena ber-tahkim kepada manusia oleh karena itu kami bertobat kepada Allah dan kembali kepada Islam. Kini akuilah bahwa dirimu juga telah menjadi kafir,karena itu hendaklah bertobat kepada Allah dan kembali kepada Islam, sebagaimana yang telah kami lakukan.”
Khalifah Ali mencela tuntutan mereka yang begitu rendah, karena itu beliau berkata kepada mereka:
“Apakah sesudah aku beriman,berhijrah dan berjihad bersama Rasulullah lalu aku mengakui diriku menjadi kafir? Diriku tak pernah kembali kepada kekafiran sekejap pun semenjak aku beriman kepada Allah.”
Kemudian mereka menjawab:
“Kami tak hendak berbicara denganmu selain ini. Hanya peranglah yang akan menentukan antara kami dan kamu.”[27]
Mendengar pernyataan ini, khalifah segera mengatur pasukan-pasukannya dan bersiap-siap untuk memerangi mereka. Posisi khalifah saat itu serba sulit. Di satu pihak, Beliau ingin menghancurkan Mu’awiyah yang semakin kuat di Syam, sementara di pihak lain kekuatan Khawarij akan menjadi sangat berbahaya jika tidak segera ditumpas. Akhirnya khalifah mengambil keputusan untuk menumpas kekuatan Khawarij terlebih dahulu, kemudian menyerang Syam.[28]
Pertempuran sengit antara pasukan khalifah dan pasukan Khawarij terjadi di Nahrawan (di sebelah timur Baghdad) pada tahun 38 H. dan berakhir dengan kemenangan di pihak khalifah. Kelompok Khawarij berhasil dihancurkan dalam waktu singkat, hanya sebagian kecil yang dapat meloloskan diri. Pemimpin mereka Abdullah bin Wahab al-Rasibi ikut terbunuh.
Sejak itu kaum Khawarij menjadi lebih radikal. Kekalahan di Nahrawan menumbuhkan dendam di hati mereka, sehingga secara diam-diam mereka mereka merencanakan pembunuhan terhadap tiga orang yang dianggap sebagai biang keladi perpecahan umat. Tiga orang yang dimaksud adalah Ali bin Abi Thalib, Amr bin Ash dan Mu’awiyah. Pelaksana tugas atas rencana pembunuhan tersebut terdiri dari tiga orang pula, yaitu: Abd. Rahman bin Muljam ditugaskan untuk membunuh khalifah di Kufah, Barak bin Abdillah al-Tamimi ditugaskan untuk membunuh Mu’awiyah di Syam, dan Amr bin Abu Bakar al-Tamimi ditugaskan untuk membunuh Amr bin Ash di Mesir. Namun diantara mereka, hanya Abd.Rahman bin Muljam saja yang berhasil menunaikan tugasnya. Ia menusuk khalifah Ali dengan pedang beracun ketika beliau hendak shalat subuh di Mesjid Kufah. Dua hari kemudian khalifah Ali menghembuskan nafas terakhirnya yaitu pada tanggal 19 Ramadhan 40 H./ 25 Januari 661 M. Dalam usia 63 tahun.[29]
DAFTAR PUSTAKA
Al-Baidzuri, Futuhul buldan, jilid V, Cet.III; Mesir: Maktabah an-Nahdhah, t.th.
Arsyad, M.Natsir, Seri Buku Pintar Islam III: Seputar Sejarah dan Muamalah Cet.I; bandung: al-Bayan , 1993
As-Salus, Ali Ahmad, Aqidah al-Imamah ‘inda as-Syi’ah al-Isna ‘Asyariyah diterjemahkan oleh Asmuni Solihan Zamakhsyari dengn judul Imamah dan Khalifah Dalam Tinjauan Syar’I, Cet. I; Jakarta: Gema Insani Press, 1997.
Dewan redaksi ensiklopedi islam, “Ali ibn Abi Thalib,” Ensiklopedi Islam, Jilid I; Jakarta: Ichtiar baru van houve, 1994.
Glasse, Cyril, The Concise Ensyclopedia Of Islam, diterjemahkan oleh Ghufron A.
Mas’adi dengan judul Ensyclopedi Islam, Cet.II ; Jakarta: PT.Raja Grafindo persada, 1999.
Hassan, Hassan Ibrahim, Tarikh al-Islam al-Siyasi wa al-Tsaqafi wa al-Ijtima’, diterjemahkan oleh H.A.Bahauddin dengan judul Sejarah dan Kebudayaan Islam,jilid 1 Cet.I; Jakarta, Kalam Mulia, 2002.
Iqbal, Afzal, Diplomacy in early Islam, diterjemahkan oleh Samason Rahman, Diplomasi Islam Cet.I; Jakarta: Pustaka al-Kautrar, 2000.
Khalid, Khalid Muhammad, Khulafa al-Rasul, diterjemahkan oleh Zaid Husein al- Hamid dengan judul Kehidupan Para Khalifah teladan , Cet. I; Jakarta: Pustaka Amani,1995.
Kieraha, Meth, Awal dan Sejarah Perkembangan Islam Syi’ah: Dari Saqifah Sampai Imamah Cet. II; Bandung: Pustaka Hidayah, 1995.
Mas’udi, Masdar F. Islam Agama Keadilan, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991.
Syalabi, Ahmad, Mausu’ah al-Tarikh al-Islami, diterjemahkan oleh Mukhtar Yahya dan M. Sanusi Latief dengan judul Sejarah dan Kebudayaan Islam, Cet. III; Jakarta: PT.al-Husna Zikra, 1995.
Syazali, Munawir, Islam dan Tata Negara, Jakarta: UI Press, 1991.
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam Jakarta: PTRaja Grafindo Persada, 1993.
[1] Dewan redaksi ensiklopedi islam, “Ali ibn Abi Thalib,” Ensiklopedi Islam, Jilid I (Jakarta: Ichtiar baru van houve, 1994), H.111
[2] Khalid Muhammad Khalid, Khulafa al-Rasul, diterjemahkan oleh Zaid Husein al-Hamid dengan judul Kehidupan Para Khalifah teladan (Cet. I; Jakarta: Pustaka Amani,1995), h. 346
[4] M.Natsir Arsyad, Seri Buku Pintar Islam III: Seputar Sejarah dan Muamalah (Cet.I; bandung: al-Bayan , 1993), h. 83
[5] Ensiklopedi Islam, op. cit., h. 112
[6] Afzal Iqbal, Diplomacy in early Islam, diterjemahkan oleh Samason Rahman,Diplomasi Islam (Cet.I; Jakarta: Pustaka al-Kautrar, 2000), h. 203
Tidak ada komentar:
Posting Komentar