Kamis, 30 Maret 2017
Tokoh islam dan pendidikan
IFTITAH
Berbicara dunia pendidikan Islam dan kemajuan-kemajuannya, maka kita akan terbentur kepada tokoh-tokoh pembaharunya. Dengan pemikiran para tokoh tersebut, sekarang kita menikmati aktualisasi pendidikan Islam dari zaman ke zaman. Demi reaktualisasi pengetahuan kita seputar tokoh tersebut, maka perlu rasanya mengkaji ulang pemikiran dari para tokoh dan mengambil buah pemikiran tersebut untuk kita realisasikan serta aplikasikan dalam pendidikan Islam yang akan datang.
Al-Ghazali adalah salah satu dari sekian banyak tokoh dunia yang ikut berpartisipasi aktif dalam memajukan pendidikan Islam. Dengan partisipatifnya itu, dia menghasilkan banyak karya-karya yang menjadi referensi dalam prosesi Pendidikan Islam.
Dengan segudang prestasi yang diraih oleh al-Ghazali, tidak heran rasanya dia mendapat gelar yang sama sekali tidak dia butuhkan yaitu “hujjatul islam”. Acungan jempol dan rasa banggapun diungkapkan oleh para tokoh ulama, berikut penulis sajikan komentar para ulama tentang seberapa berhak Al-Ghazali menyandang gelar tersebut yang di nukil dari uraian singkat Sholeh Ahmad As-Syamy[1];
Ad-Dzahabi mengatakan bahwa “Dialah Syeikh Imam yang ilmunya mensamudera, Hujjatul Islam, Keajabaian yang pernah dimiliki zaman, Hiasan agama, melahirkan karya monumental dengan kecerdikan yang luar biasa”. Disusul komentar oleh Ibn Katsir yang mengatakan bahwa “Dia menguasai banyak sekali ilmu, melahirkan karya yang sangat banyak dalam berbagai disiplin keilmuan, sehingga dengan kecerdasannya menjadi yang terdepan dalam membicarakan persoalan apapun”.
Imam Haromain pun menguraikan komentarnya mengenai Al-Ghazali bahwa “Dia adalah bahtera yang mensamudera”, dilanjutkan oleh Ibn Jauzi beropini bahwa “Al-Ghazali mengarang kitab yang sangat baik, sangat sistematis, dan jelas”. Tidak mau kalah, Ibn ‘Ammad Al-Hanbali yang berkata “… Kesimpulannya, saya tidak pernah menemukan orang yang luar biasa seperti dia (Al-Ghazali).
Dan sebagai pamungkas, cukup kiranya komentar dari syeikh Al-Maraghi mewakili yang lain dalam kelayakannya menyandang gelar “Hujjatul Islam”; Jika di sebutkan nama para ulama, maka pandangan akan mengarah kepada spesifikasi kepakaran ilmu yang di gelutinya. Ketika di sebut nama Ibn Sina atau al-faraby, maka yang terlintas di benak adalah seorang filosof agung yang pernah islam miliki. Jika di sebut nama Ibn ‘Arabi yang terlintas adalah seorang sufi besar yang pendapatnya sebagian harus di seleksi. Jjika di sebut nama Bukhari, Muslim dan Ahmad yang terlintas adalah seorang yang kuat hafalannya, jujur, terpercaya. Dan jika nama al-Ghazali di sebut, maka yang terlintas bukan hanya seorang dengan satu kepakaran saja, namun menghimpun banyak orang dalam berbagai bidang keilmuan. Yang terlintas adalah seorang ulama ushul yang cerdas dan pandai, ahli fiqih yang tidak fanatik, Imam pembela Theologi ahli sunah, seorang pakar ilmu alam dan kejiwaan, seorang filosof ulung atau seorang yang dapat menghancurkan “filsafat” itu sendiri, Ahli pendidikan, Sufi yang zuhud. Atau sebutlah sesuai dengan apa yang terlintas dalam benak kalian, misalnya seorang yang haus akan ilmu atau lainnya, niscaya al-Ghazali senantiasa berhak mendapatkannya.”[2]
II. PEMBAHASAN
A. Biografi Al-Ghazali
Nama lengkap Al-Ghazali adalah Abu Hamid Muhammad Ibn Muhammad at-Thusi Al-Ghazali yang dilahirkan pada pertengahan abad ke-5, tahun 450 H/ 19 Desember 1058 M. Dia dilahirkan di kota Ghazlah, sebuah kota kecil dekat Thus di Khurasan, yang ketika itu merupakan salah satu pusat ilmu pengetahuan di dunia Islam. [3]Ayahnya hanya seorang pemintal Wol di kota Thus namun berkepribadian sangat baik. Pada waktu luangnya, beliau senantiasa konsisiten menghadiri majlis ulama, membaktikan diri kepada mereka, memberikan nafakah semampu yang dia punya, hatinya sangat lembut, hingga jika mendengar ucapan ulama sangat mudah untuk menangis dan senantiasa memohon kepada Allah agar dianugerahkan baginya anak yang ahli dalam fiqih.[4]
Sebelum meninggal, ayahnya memasrahkan al-Ghazali dan adiknya Ahmad kepada sahabatnya, seorang sufi dengan bekal hasil jerih payah ayahnya. Ketika bekal dan harta sahabat ayahnya tersebut sudah habis, dia menghimbau kepada al-Ghazali dan adiknya agar mencari madrasah yang dapat menampung mereka.[5]Karena di masa tersebut banyak madrasah yang di sediakan pemerintah bagi penuntut ilmu yang kekurangan biaya.
Beliau memulai proses belajarnya kepada Abu Hamid Ahmad Ibn Muhammad Ath Thusi Ar Radzkani.[6] Setelah itu ke Jurjan kepada Nashr al-Isma’ili untuk memperdalam Bahasa Arab dan Bahasa Persia. Kemudian beliau memulai awal perjalanan hebatnya di Nizapur untuk belajar fiqih, ushul fiqih, mantik dan ilmu kalam di Madrasah Nizhamiyah pimpinan al Juwaini al- Haramain yang bermadzab Syafi’i dan Asy’ari, yang pada saat itu merupakan salah satu pusat ilmu pengetahuan yang terkenal di dunia Islam.[7]
Berikut tokoh-tokoh tempat Al-Ghazali menimba ilmu; Abu Hamid Ahmad bin Muhammad ar-Radzkani di Thus, Abu Nashr al-Isma’ily di Jurjan, Imam Haromain di Nisapur. Dalam ilmu Tasawwuf; Abu Ali al-Fadl bin Muhammad bin Ali al-Farmady at-Thusiy. Beliau termasuk murid terpopuler dari Abi al-Qasim al-Qusyairi pengarang “ar-Risalah”. Kemudian di akhir hidupnya, Al-Ghazali memperdalam ilmu Hadist kepada Abu Sahl al-Marwazy dan Muhammad bin Yahya Az-Zuzny.[8]
Di Nisapur inilah karir al-Ghazali di mulai. Hal ini tercermin dalam penuturan Az-Zubaidi; “kemudian dia mendatangi Nisapur dan dengan setia menyertai imam haromain sehingga menjadi pakar dalam Ilmu Fiqih, Dialog (jadl), Ushul, Mantiq, Filsafat, Hikmah, dengan mengetahui seluk beluknya,dan mengarang karya monumental yang terkait dengannya.”[9]
Dengan demikian, meningkatlah kedudukan al-Ghazali dihadapan wazîr dan akhirnya dia diangkat sebagai guru besar di Madrasah Nizâmu al-Mulk di Baghdad[10] pada tahun 484 H. Suatu perguruan Tinggi yang mahasiswanya di huni para ulama. Dia sangat disegani dan dicintai, karena kehalusan bahasa dan keilmuannya. Setelah empat tahun sibuk dengan aktifitas mengajar di Madrasah tersebut, tumbuhlah dalam jiwanya perasaan zuhud dari kehidupan duniawi, sehingga ditinggalkannya jabatan ini karena ingin menyendiri (uzlah)[11]. Dia pergi ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji kedua kalinya pada tahun 488 H. dan terus melanjutkan perjalanan ke Damaskus. Di negeri ini dia hidup menyepi dan menjauhkan diri dari segala kesibukan duniawi. Kemudian pergi ke Mesir tinggal beberapa waktu di Iskandariah, lalu kembali ke kampung halamannya Thus. Di sini dia menyibukkan diri dengan mengarang kemudian kembali ke Nisaphur untuk memberikan pengajian. Tapi akhirnya dia memutuskan kembali ke kampong halamannya, Thus menghabiskan sisa hidupnya untuk memberikan pengajaran dan beramal kebajikan dan hidup sebagai sufi. [12]
Selain mengajar dan menjalani kehidupan sufi, al-Ghazali juga terus mendalami al-Qur'an dan Hadits, termasuk menekuni shahih Bukhari, shahih Muslim dan Sunan Abu Dawud, meskipun di masa lampau, ia sudah banyak mempelajari al Qur'an/tafsir dan Hadits.
Al-Ghazali wafat pada hari senin 14 Jumadi Akhir 505/ 18 Desember 1111 M, dimakamkan di Tabaran, Tus. Demikianlah yang dapat kita amati dan renungkan, bahwa al-Ghazali dilahirkan di Tus dan wafat juga di Tus, setelah ia melakukan pengembaraan untuk mencari ilmu al-yaqini.
B. Karya-karya Al-Ghazali
Imam Az-Dzarkali menuturkan dalam kitanya “Al-A’lam”, bahwa al-Ghazali melahirkan sekitar 200 karya, di antaranya adalah “Yaqut at-Ta’wil fi Tafsir al-Tanzil” yang terdri dari 40 jilid. Sedangkan perhitungan as-Subki di kitabnya “Tabaqat as-Syafi’iyah” lebih dari 50 karya.
Adapun karya yang tidak sah di nisbatkan kepada al-Ghazali, menurut az-Zubaidy adalah; As-Sirrul Maktum Fi Asrarin Nujum, Tahsin ad-Dzunun, An-Nafkhu wat Taswiyah, Al-Madlmun bihi ‘Ala Ghari Ahlihi.[13]
Menurut Dr. Sulaiman Dunya, karya beliau mengerucut pada; 1. Ilmu Kalam. 2. Filsafat Rasional (Falsafah ‘Aqliyah). 3. Madzhab Ahli At-Ta’lim. 4. Tasawuf dan Filsafat Spritual (Falsafah Ruhy)[14].
Dengan uraian sebagi berikut;
1. Tentang Ushul fiqih; Al-Mankhul, Al-Mustashfa, Tahdzibul Ushul.
2. Tentang Filsafat, ilmu Kalam, dan Mantiq; Maqashidul Falsafah, Tahafatul Falasifah, al-Munqidz Mina al-Dlalal, al-Iqtishad fil I’tiqad, Fayshal al-Tafriqah, Qawaid al-‘Aqaid, al-Maqshad al-Asna fi Syarhi Asmaillah al-Husna, Mi’yar al-Ilm, Mahakku al-Nadzar, al-Qishtas al-Mustaqim, Iljam al-‘Awam ‘an Ilmil Kalam, Jawahir al-Qur’an, Kimiyau al-Sa’adah, Ma’arij al-Quds, Misykat al-Anwar.
3. Tentang Tasawuf, Akhlak, Pendidikan, Ilmu Jiwa dan Sosial; Ihya’ Ulumiddin, Minhaj al-‘Abidin, Bidayah al-Hidayah, Mizan al-‘Amal, Mi’raj al-Salikin, Ayyuhal Walad.
4. Tentang perbandingan agama; Al-Qaul al-Jamil fir Raddi ‘Ala Man Ghayyara al-Injil, Fadlaih al-Bathiniyah, Hujjatul Haq, Mafshal al-Khilaf[15].
C. Pemikiran pendidikan Islam menurut Al-Ghazali
Sistem pendidikan Al-Ghazali sangat dipengaruhi luasnya ilmu pengetahuan yang dikuasainya, sehingga dijuluki filosof yang ahli tasawuf(Failasuf al-Mutasawwifin) Dua corak ilmu yang telah terpadu dalam dirinya itu kemudian turut mempengaruhi formulasi komponen-komponen dalam sistem pendidikannya. Ciri khas sistem pendidikannya al-Ghazali sebenarnya terletak pada pengajaran moral religious dengan tanpa mengabaikan urusan dunia.[16]
1. Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan menurut al-Ghazali harus mengarah kepada realisasi tujuan keagamaan dan akhlak, dengan titik penekanannya pada perolehan keutamaan dan taqorrub kepada Allah dan bukan untuk mencari kedudukan yang tinggi atau mendapatkan kemegahan dunia. Sebab jika tujuan pendidikan diarahkan selain untuk mendekaykan diri kepada Allah, akan menyebabkan kesesatan dan kemudharatan.
Al-Ghazali berkata: “hasil dari ilmu sesungguhnya ialah mendekatkan diri kepada Allah, dan menghubungkan diri dengan para malaikat yang tinggi dan bergaul dengan alam arwah, itu semua adalah keberasan, pengaruh penerintahan bagi raja-raja dan penghormatan secara naluri”
Rumusan tujuan pendidikan didasarkan kepada firman Allah SWT, tentang tujuan penciptaan manusia yaitu:
$tBur àMø)n=yz £`Ågø:$# }§RM}$#ur žwÎ) Èbr߉ç7÷èu‹Ï9 ÇÎÏÈ
“dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (QS. Al-Dzariyat: 56).
Menurut al-Ghazali, pendekatan diri kepada Allah merupakan tujuan pendidikan. Orang dapat mendekatkan diri kepada Allah hanya setelah memperoleh ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan itu tidak akan diperoleh kecuali melalui pengajaran.
Kesimpulan tujuan pendidikan menurut Al-Ghazali dapat diklasifikasikan kedalam beberapa point berikut: 1) Mendekatkan diri kepada Allah, yang wujudnya adalah kemampuan dan dengan kesadaran diri melaksanakan ibadah wajib dan sunnah. 2) Menggali dan mengambangkan potensi atau fitrah manusia. 3) Mewujudkan profesionalisasi manusia untuk mengemban tugas keduniaan dengan sebaik-baiknya. 4) Membentuk manusia yang berakhlak mulia, suci jiwanya dari kerendahan budi dan sifat-sifat tercela. 5) Mengembangkan sifat-sifat manusia yang utama sehingga menjadi manusia yang manisiawi
2. Kurikulum Pendidikan
Kurikulum dimaksudkan disini adalah kurikulum dalam arti sempit, yaitu seperangkat ilmu yang diberikan oleh pendidik kepada peserta didik agar dapat mencapai tujuan yang telah dirumuskan. Pandangan Al-Ghazali terhadap kurikulum dapat dipahami dari pandangan mengenai Ilmu Pengetahuan.[17]
Kurikulum pendidikan yang disusun al-ghazali sesuai pandangannya mengenai tujuan pendidikan yakni mendekatkan diri kepada Allah yang merupakan tolak ukur manusia. Untuk menuju kesana diperlukan ilmu pengetahuan. Mengurai kurikulum pendidikan menurut al-ghazali, ada dua hal yang menarik bagi kita. Pertama, pengklasifikasian terhadap ilmu pengetahuan yang sangat terperinci dalam segala aspek yang terkait dengannya. Kedua, pemikiran tentang manusia dengan segala potensi yang dibawanya sejak lahir.
3. Faktor Pendidikan
a. Pendidik
Dalam proses pembelajaran, Al-Ghazali berpandangan bahwa Pendidik merupakan suatu keharusan. Eksistensi pendidik merupakan syarat mutlak bagi keberhasilan prosesi pendidikan.[18]
Dalam hal ini al-ghozali berkata: “makhluk yang paling mulia di muka bumi adalah manusia. Sedangkan yang paling mulia penampilanya ialah kalbunya. Guru atau pengajar selalu menyempurnakan, mengagungkan dan mensucikan kalbu itu serta menuntutnya untuk dekat kepada Allah”. Dia juga berkata; “seseorang yang berilmu dan kemuudian bekerja dengan ilmunya itu, dialah yang dinamakn oranbg besar dibawah kolong langit ini. Ia bagai matahari yang menyinari orang lain, sedangkan ia sendiri pun bercahaya. Ibarat minyak kasturi yang baunya dinikmati orang lain, ia sendiri pun harum. “
b. Peserta Didik
Al-ghazali berkata: “Seorang pelajar hendaknya tidak menyobongkan diri dengan ilmunya dan jangan menentang gurunya. Tetapi menyerah sepenuhnya kepada guru dengan keyakinan kepada segala nasihatnya sebagaimana seoorang sakit yang bodoh yakin kepada dokter yang ahli dan berpengalaman. Seharusnya seorang pelajar itu tunduk kepada gurunya, mengaharap pahala dan kemuliaan dengan tunduk kepadanya.”
Ramayulis dalam bukunya “Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam”[19] menyebutkan beberapa sikap peserta didik yang harus diaplikasikan, diantaranya; pertama, peserta didik arus bersikap memuliakan pendidik dan rendah hati serta tidak takabbur. Kedua, peserta didik harus merasa satu bangunan dengan peserta didik lainnya. Sebagai satu bangunan, maka peserta didik harus saling menyayangi, tolong menolong sesama. Ketiga, peserta didik harus menjauhkan diri dari membaca mazhab yang dapat menimbulkan kekacauan dalam pikiran. Dan keempat, peserta didik tidak hanya mempelajari satu ilmu pengetahuan saja, tapi semua jenis ilmu pengetahuan yang bermanfaat harus dipelajari.
4. Metode dan Media
Metode dan media yang dipergunakan menurut Al-Ghazali harus dilihat secara psikologis, sosiologis, maupun pragmatis dalam rangka keberhasilan proses pembelajaran. Metode pengajaran tidak boleh monoton, demikian pula media atau alat pengajarannya. Perihal kedua masalah ini, banyak sekali pandapat Al-Ghazali tentang metode dan metode pengajaran. Misalnya menggunakan metode mujahadah dan riyadhlah, pendidikan praktek kedisiplinan, pembiasaan dan penyajian dalilnagli dan aqli, serta bimbingan dan nasehat. Sedangkan media/alat digunakan dalam pengajaran. Beliau menyetujui adanya pujian (reward) dan hukuman (punishment), di samping keharusan menciptakan kondisi yang mendukung terwujudnya akhlak yang mulia (kondusif).
5. Proses Pembelajaran
Al-Ghazali mengajukan konsep integrasi antara materi, metode dan media atau alat pengajarannya. Seluruh komponen tersebut harus diupayakan semaksimal mungkin, sehinggga dapat menumbuhkembangkan segala potensi fitrah anak, baik dalam hal usia, intelegensi, maupun minat dan bakatnya. Jangan sampai anak diberi materi materi pengajaran yang justru merusak akidah dan akhlaknya. Anak yang dalam kondisi taraf akalnya belum matang, hendaknya diberi materi pengajaran yang dapat mengarahkan kepada akhlak yang mulia. Adapun ilmu yang paling baik diberikan pada tahap pertama ialah ilmu agama dan syariat, terutama al-Qur’an.
D. Konsep Ilmu Menurut Al-Ghazali
Dalam pandangan Al Ghazali, ilmu terbagi menjadi tiga bagian yaitu: pertama, Ilmu-ilmu yang terkutuk baik sedikit maupun banyak, yaitu ilmu-ilmu yang tidak ada manfaatnya baik di dunia maupun di akhirat, seperti ilmu sihir, ilmu nujum dan ilmu ramalan. Al Ghazali menilai ilmu tersebut tercela karena terkadang dapat menimbulkan mudharat (kesusahan). Kedua, Ilmu-ilmu yang terpuji baik sedikit maupun banyak, yaitu ilmu yang erat kaitannya dengan peribadatan dan macam-macamnya, seperti ilmu yang mengajarkan manusia tentang cara-cara mendekatkan diri kepada Allah dan melakukan sesuatu yang diridhoi-Nya. Bagi Al Ghazali, ilmu yang wajib ‘ain adalah ilmu tentang cara mengamalkan amalan yang wajib seperti shalat, puasa, zakat, dan sebagainya. Sedangkan ilmu yang wajib kifayah adalah setiap ilmu yang tak dapat ditinggalkan dalam kehidupan masyarakat. Contohnya yaitu ilmu kedokteran dan ilmu hitung.
Ketiga, Ilmu-ilmu yang terpuji dalam kadar tertentu, atau sedikit, dan tercela jika dipelajarinya secara mendalam, karena dapat menyebabkan kekacauan dan kesemrawutan antara keyakinan dan keraguan, serta dapat membawa kepada kekafiran seperti ilmu filsafat. Al Ghazali berkesimpulan bahwa ilmu yang paling utama adalah ilmu agama dengan segala cabangnya, karena dapat dikuasai melalui akal yang sempurna dan daya tangkap yang jernih.
E. Pendidikan Akhlak Menurut Al-Ghazali
Berangkat dari keyakinan bahwa Akhlaq dapat berubah dan di bentuk melalui pendidikan dan proses usaha keras (Mujahadah), latihan jiwa (Riyadlah), pensucian jiwa dari sifat jelek (Tazkiyah), Al-Ghazali menegaskan tiga hal penting;
Pertama, perbedaan pandangannya dengan kelompok Jabariyah[20]. Al-Ghazali berargumen, bahwa jika akhlak tidak dapat di rubah, maka peringatan, pendidikan Adab dan pesan yang di sampaikan agama tidak ada artinya. Padahal jelas, misalnya sabda Rasul tentang kewajiban memperbaiki Akhlak. Dan fakta bahwa ternyata bukan hanya manusia yang dapat menerima perubahan karakternya, namun juga hewan seperti anjing yang buas, menjadi penurut. Jika akhlak hewan saja dapat berubah, kenapa manusia tidak?[21].
Kedua, hubungan yang tidak dapat terlepas antara pembentukan akhlak dengan agama. Melalui pendapatnya bahwa, jika akhlak tidak dapat di bentuk seperti persangkaan kaum Jabariyah, maka, ada tidaknya agama tidak menjadi penting. Pesan, peringatan dan didikan agama akan menjadi sia-sia, Al-Ghazali ingin menegaskan bahwa pembentukan akhlak kiranya harus di dasarkan kepada ajaran agama, karena ia sendiri merupakan sarana untuk mendapat keridlaan Allah. Hal ini berbeda dengan pandangan kalangan pendidik modern yang menyatkan bahwa akhlak haruslah di dasarkan kepada nilai dan morma sosial yang berlaku.
Ketiga, pentingnya peran guru dalam pembentukan akhlak. Di akui dalam dunia pendidikan, bahwa peran guru dalam membentuk kepribadian anak didik sangatlah penting dan menentukan. Misalnya para pakar seperti Al-Hazimy, Abu Lawi, Abul Hasan An-Nadwi dan para pakar pendidikan modern, ketika menjelaskan tentang metode pendidikan, faktor keteladanan (Qudwah) guru menjadi sangat penting. Ketika pendidikan modern meyakin kalau anak didik cenderung mengikuti perilaku gurunya karena ia adalah peniru paling ulug, maka harus di sepakati jika peran guru sangatlah penting.
Dalam hal ini al-Ghazali berpendapat, mencari guru yang dapat mengantarkan anak didik menuju kepribadian yang suci dengan menghapuskan akhlak yang jelek, sangatlah penting. Guru ibarat petani yang menyingkirkan duri dari ladangnya dan merawat tanamnnya dengan baik baik, agar dari ladang tersebut, dapat menghasilkan buah yang baik dan sempurna[22]. Jadi, guru mempunyai tugas yang berat yaitu mengantarkan anak didik berakhlak mulia, dan menggali potensinya. Guru harus menguasai ilmu agama terkait pembentukan akhlak dan ilmu seputar penggalian potensi anak didik tersebut.
F. Pendidikan Anak Menurut Al-Ghazali
Ketika manusia mempunyai tugas dan bertanggung jawab untuk kemakmuran dunia, maka dia membutuhkan pendidikan yang menyeluruh dalam setiap aspek dan setiap fase dalam kehidupannya dalam rangka kemakmuran tersebut. Kalau di Tanya, kapan dia memulai pendidikannya? Mungkin jawaban yang paling bijak adalah; saat dia mampu menerima pendidikan. Mulai dari usia dini di Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), Taman Kanak-kanak (TK) dan Sekolah Dasar (SD), Remaja di Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan usia Remaja di Sekolah Menengah Atas (SMA) hingga menuju pendidikan tingkat tinggi di Universitas.
Al-Ghazali melihat bahwa pendidikan anak usia dini sangatlah penting, karena pembentukan kepribadian sejak kecil, akan berdampak kepada fase kehidupan setelahnya, menancap dalam, seperti lukisan di atas batu.[23] Di mulai dari pendidikan keluarga dengan menciptakan lingkungan yang kondusif untuk pembelajarannya, misalnya; dengan tidak membiasakan hidup dalam kenikmatan dan mengisi fitrahnya dengan bacaan al-Qur’an, memberikan hadiah dalam setiap tingkah laku dan tindakan yang baik dari anak untuk menancapkan rasa percaya diri dalam dirinya, tidak menonjolkan kesalahan yang ia buat serta memberikan izin kepada anak untuk bermain dan beristirahat sekedarnya, karena melarang bermain bagi anak akan mematikan rasa dari hatinya dan menghancurkan potensi kecerdasannya.[24]
Kemudian di lanjutkan dengan pemahaman tentang kewajiban dan hikmah yang terkandung di dalamnya serta larangan dan alasan di jauhinya. Tentang kewajiban misalnya, seperti: 1) Berbakti kepada kedua orang tua, dan menghormati yang lebih tua. 2) Memperlakukannya dengan penuh kemuliaan, seperti, dengan tidak iktu serta bermain dengannya. 3) Tidak memberikan toleransi saat meninggalkan sholat. 4) Melatih puasa ketika bulan Ramadlan. 5) Melarang memakai pakaian dari sutera dan emas. 6) Memberikan pemahaman tentang kewajiban yang harus di lakukan seperti sholat dan lainnya. Sedangkan tentang larangan yang harus di jauhi seperti; mencuri, memakan barang haram, berkhiantan, berbohong dan lainnya.[25]
G. Relevansi Pemikiran Al-Ghazali dengan Prosesi Pendidikan Era Modern
1. Tujuan Pendidikan Islam. Dari hasil studi terhadap pemikiran al-Ghazali, diketahui dengan jelas bahwa tujuan akhir yang ingin dicapai melalui kegiatan pendidikan yaitu: a) Tercapainya kesempurnaan insan yang bermuara pada pendekatan diri kepada Allah dan b) Kesempurnaan insan yang bermuara pada kebahagiaan dunia akhirat. Dengan demikian, keberadaan pendidikan bagi manusia yang meliputi berbagai aspeknya mutlak diperlukan bagi kesempurnaan hidup manusia dalam upaya membentuk mausia paripurna, berbahagia didunia dan akhirat kelak. Hal ini berarti bahwa tujuan yang telah ditetapkan oleh imam al-Ghazali memiliki koherensi yang dominan denga upaya pendidikan yang melibatkan pembentukan seluruh aspek pribadi manusia secara utuh.
2. Materi Pendidikan Islam. Imam al-Ghazali telah mengklasifikasikan meteri (ilmu) dan menyusunnya sesuai dengan dengan kebutuhan anak didik juga sesuai dengan nilai yang diberikan kepadanya. Dengan mempelajari kurikulum tersebut, jelaslah bahwa ini merupakan kurikulum atau materi yang bersifat universal, yang dapat dipergunakan untuk segala jenjang pendidikan. Hanya saja al-Ghazali tidak merincinya sesuai dengan jenjang dan tingkatan anak didik.
Jadi relevansi pandangan al-Ghazali dengan kebutuhan pengembangan dunia pendidikan Islam dewasa ini sangan bertautan dengan tuntutan saat ini, baik dalam pengertian spesifik maupun secara umum. Secara spesifik misalnya pengembangan studi akhlak tampak diperlukan dewasa ini. Sangat disanyangkan, materi ini telah hilang dilembaga-lembaga pendiidkan. Jangankan disekolah yang berlabel umum, disekolah yang berlambang Islam saja bidang studi yang satu ini sudah tidak ada. Dengan demikian pula secara umum, pandangan Al-Ghazali tentang pendidikan Islam tampak perlu dicermati. Keutuhan pandangan Al-Ghazali tentang Islam misalnya tampak tidak dikotomi seperti sekarang ini, ada ilmu agama dan ilmu umum, sehingga dari segi kualitas intelektual secara umum umat Islam jauh tertinggal dari umat yang lain. Hal ini barang kali merupakan salah satu akibat sempitnya pandangan umat terhadap ilmu pengetahuan yang dikotomi seperti itu.
3. Metode pendidikan Islam. Pandangan Al-Ghazali secara spesifik berbicara tentang metode barang kali tidak ditemukan namun secara umum ditemukan dalam karya-karyanya. Metode pendidikan agama menurut Al-Ghazali pada prinsipnya dimulai dengan hafalan dan pemahaman, kemudian dilanjutkan dengan keyakinan dan pembenaran setelah itu penegakkan dalil-dalil dan keterangan yang menunjang penguatan akidah
Pendidikan agama kenyataanya lebih sulit dibandingkan dengan pendidikan lainnya karena, pendidikan agama menyangkut masalah perasaan dan menitik beratkan pada pembentukan kepribadian murid. Oleh karena itu usaha Al-Ghazali untuk menerapkan konsep pendidikannya dalam bidang agama dengan menanamkan akidah sedini mungkin dinilai tepat. Menurut Al-Ghazali bahwa kebenaran akal atau rasio bersufat sempurna maka agama, bagi murid dijadikan pembimbing akal.
Dari uraian singkat diatas dapat dipahami bahwa makna sebenarnya dari metode pendidikan lebih luas daripada apa yang telah dikemukakan diatas. Aplikasi metode pendidikan secara tepat guna tidak hanya dilakukan pada saat berlangsungnya proses pendidikan saja, melainkan lebih dari itu, membina dan melatih fisik dan psikis guru itu sendiri sebagai pelaksana dari penggunaan metode pendidikan. Nana Sudjana dan Daeng Arifin mengemukakan bahwa proses kependidikan akan terjalin dengan baik manakala antara pendidik dan anak didik terjalin interaksi yang komunikatif.
Dengan demikian prinsip-prinsip penggunaan yang tepat sebagaimana diungkapkan oleh imam Al-Ghazali memiliki relevansi dan koherensi dengan pemikiran nilai-nilai pendidikan kontemporer pada masa kini. Hal ini berarti bahwa nilai-nilai kependidikan yang digunakan oleh imam Al-Ghazali dapat diterapkan dalam dunia pendidikan dalam dunia global.
III. IKHTITAM/KESIMPULAN
Berdasarkan uraian diatas berikut ini akan dikemukakan beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Keutuhan pribadi Al-Ghazali dapat diketahui dengan memahami hasil karyanya disemua bidang dan disiplin ilmu yang telah diselaminya dan bukan pada satu segi saja misalnya segi tasawuf, dengan deniukian kesan Al-Ghazali hanya sebagai sufi yang skeptis, hanya bergerak dibidang ruhani dan perasaan jiwa.
2. Pendidikan Islam menurut imam Al-Ghazali adalah sarana perekayasaan social bagi umat Islam yang berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah untuk menuju kesempurnaan hidup manusia hingga mencapai insane kamil yang bertujuan mendekatkan diri kepada Allah dan kesempurnaan manusia yang bertujuan meraih kebahagiaan didunia dan diakhirat kelak. Pencapaian lesempurnaan hidup melalui proses pendidikan juga merupakan tujuan dari pendidikan Islam itu sendiri.
3. Materi pendidikan isalam menurut al-Ghazali yang berdasarkan al-Quran dan as-Sunnah ialah berisiskan berbagai ilmu pengetahuan sebagai sarana yang menghubungkan hamba dengan Tuhannya, sehingga ia mendekatkan diri secara kualitatif kepada-Nya. Dan dengan begitu sipenuntut ilmu dapat mencapai kebahagiaan didunia dan akhirat kelak.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Ghazali. Al-Munqidz Mina Ad-Dlalal. Darul Andalus
Al-Ghazali. Fatihatul Ulum. 1322 H. Mesir: Al-Husainiyah Al-Misriyah
Al-Ghazali. Ihya’ Ulumuddin, I dan III. 1991. Beirut: Darul Fikr
Al-Qardlawy, Dr. Yususf. Al-Imam Al-Ghazali Baina Madihihi Wa Naqidlihi.1994 M/1414 H. Beirut: Muassasah al-Risalah
Amin, Mustafa. Tarikhut al-Tarbiyah. 1974. Mesir: al-Ma’arif
As-Subki, Tajuddin. Tabaqat as-Syafiiyyah al-Kubra. Kairo: Isa Al-Baby Al-Halaby
As-Syamy, Sholeh Ahmad. Al-Imam Al-Ghazali Hujjatul Islam Wa Mujaddidul Miah Al-Khamisah. 1993. Damaskus: Darul Qalam
Az-Zubadi, Muhammad Husein. Ittihafus Sadatil Muttaqin Bi Syarhi Ihya’ Ulumuddin. 1991. Beirut: Darul Fikr
Dunya, Sulaiman. Al-Haqiqah Fi Nadzril Al-Ghazali. 1965. Mesir: Darul Maarif
Hoeve, Van. Ensiklopedi Islâm. 1994. Jakarta: Ichtiar Baru
Madjidi, Busyairi. Konsep Kependidikan Para Filosof Muslim. 1997.Yogyakarta: Al-Amin Press
Mubarak, Dr. Zakki. Al-Akhaq. 1965. Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah
Qadli, Dr. Ahmad Arafat. At-Tarbiyah Wa Al-Siyasah ‘Inda Abi Hamid Al-Ghazali. Kairo: Daru Quba’
Qadli, Dr. Ahmad Arafat At-Tarbiyah Wa Al-Siyasah ‘Inda Abi Hamid Al-Ghazali. 2000. Mesir: Daru Quba’
Ridla, Muhammad. Abu Hamid al-Ghazali. 1403. Beiru: Darul Iqra’
Tahqiq, Al-Ghazali dan Ali Muhyiddin. Ayyuhal Walad. 1985. Beirut: Darul Basyair al-Islamiyah
Watt, W. Mongemery. Pemikiran Teologi dan Filsafat Islâm (terjemahan Umar Basahin). 1987. Jakarta: P3M 139
[1] Lihat Al-Imam Al-Ghazali Hujjatul Islam Wa Mujaddidul Miah Al-Khamisah, Damaskus; Darul Qalam 1993, hlm. 6.
[2] Di kutip oleh Dr. Sulaiman Dunya, Al-Haqiqah Fi Nadzaril Ghazali, (Mesir; Darul Ma’arif, 1965), hlm.9-10.
[4] Lihat Tajuddin As-Subki, Tabaqat as-Syafiiyyah, juz.4, hlm102.
[5] Sulaiman Dunya, Al-Haqiqah Fi Nadzril Al-Ghazali, hlm.19.
[6] Lihat Muhammad Ridla, Abu Hamid al-Ghazali, hlm.6.
[7] Busyairi Madjidi, 1997. Konsep Kependidikan Para Filosof Muslim, Yogyakarta: al-Amin Press. Hlm. 80.
[8] Lihat Az-Zubadi, Ittihafus Sadatil Muttaqin Bi Syarhi Ihya’ Ulumuddin, Juz. 1, hlm.19.
[9] Ibid Juz. 1, hlm.7
[10] W. Mongemery Watt, 1987. Pemikiran Teologi dan Filsafat Islâm (terjm. Umar Basahin, Jakarta: P3M. 139.
[11] Ghazali, Al-Munqidz Mina Ad-Dlalal,(Darul Andalus), hlm.112.
[13] Lihat Az-Zubadi, Ittihafus Sadatil Muttaqin Bi Syarhi Ihya’ Ulumuddin, Juz. 1, hlm.43.
[14] Sulaiman Dunya, Al-Haqiqah Fi Nadzril Al-Ghazali, hlm.65.
[15] Dr. Yususf Al-Qardlawy, Al-Imam Al-Ghazali Baina Madihihi Wa Naqidlihi,(Beirut; Muassasah al-Risalah, 1994 M/1414 H), hlm.17.
[16] Prof. Dr. H. Ramayulis. 2005. Ensiklopedi Toko Pendidikan Islam (Mengenal Tokoh Pendidikan di Dunia Islam dan Indonesia. Quantum Teaching. Ciputat, hlm. 5
[17] Prof. Dr. H. Ramayulis. 2005. Ensiklopedi Toko Pendidikan Islam (Mengenal Tokoh Pendidikan di Dunia Islam dan Indonesia. Quantum Teaching. Ciputat, hlm. 6
[18] Ibid. hlm.9
[19] Prof. Dr. H. Ramayulis mengutip dari kitab Minhaj al-Tarbiyah al-Islamiyah karya Muhammad Quthb yang diterbitkan oleh Dar al-Arqaam Mesir.
[20] Kelompok yang berkeyakinan bahwa akhlak tidak dapat berubah dan semuanya atas kehendak Allah, manusia tidak punya sedikit kuasa dalam bentuk apapun untuk merubah kehendak Allah.
[21] Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, Juz III, hlm.56.
[22] Al-Ghazali, Ayyuhal Walad,hlm.17.
[23] Ibid, juz 1, hlm.71.
[24] Ibid, juz 3, hlm.70-71.
[25] Dr. Ahmad Arafat Qadli, At-Tarbiyah Wa Al-Siyasah ‘Inda Abi Hamid Al-Ghazali,hlm,60.
Langganan:
Postingan (Atom)